TRIBUNNEWS.COM - Di satu siang yang mendung pada April tahun lalu, Andrey Dolgov, sebuah kapal ikan dengan haluan penuh karat, menerjang ombak.
Air bercampur minyak terlihat menyembur dari lambung kapal itu setiap kali menghantam permukaan laut dalam upayanya menyelamatkan diri. Melarikan diri?
Ya, di belakang kapal ini sebuah kapal ramping bersenjata lengkap milik Angkatan Laut Indonesia dengan cepat membuntuti.
Harapan kapal ini untuk lolos dari kejaran amat kecil. Kemudian sebuah drone dan pesawat pengintai berputar di atas kapal tersebut.
Kapal Angkatan Laut itu dengan cepat mendekat, mengakhiri perangkap yang sudah dirancang selama berbulan-bulan. Kru kapal berkarat itu menyerah.
Andrey Dolgov menyerah di tangan AL Indonesia. Andrey Dolgov mungkin memang hanya sebuah kapal ikan berkarat.
Namun, kapal dengan nomor lambung FN STS-50 ini dikejar sejumlah negara di dunia.
Penangkapan ini mengakhiri pengejaran selama tiga pekan di seluruh Samudra Indonesia dalam sebuah operasi gabungan Interpol dan Fish-i Africa.
Kapal yang juga dikenal dengan memiliki beberapa nama, yaitu Ayda dan Sea Breeze 1, itu pernah ditangkap di Mozambik.
Kapal ini ditahan karena menggunakan sertifikat palsu yang menyatakan kapal itu berasal dari Republik Togo, juga di Afrika.
Saat diperiksa, petugas menemukan 600 jala yang bisa disebar sepanjang hampir 30 kilometer.
Peralatan ini merupakan perangkat yang dilarang Komisi Konservasi Sumber Daya Laut Antartika (CCAMLR).
Faktanya, kapal ini sudah lama "mengobrak-abrik" sumber daya paling berharga di lautan, yaitu ikan.
Kapal ini merupakan bagian dari jaringan organisasi kriminal yang beroperasi mencari celah di antara undang-undang kelautan dan banyaknya pejabat penegak hukum yang korup.