Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - KRI Spica-934 menerima tugas baru melakukan survei investigasi di Selat Sunda pasca erupsi dan tsunami Gunung Anak Krakatau.
Kegiatan survei ini merupakan kelanjutan dari survei yang dilaksanakan oleh KRI Rigel-933 pasca erupsi dan tsunami terdahulu.
"Dengan tujuan untuk investigasi potensi bahaya navigasi dan memastikan keselamatan pelayaran setelah terjadinya erupsi dan tsunami Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda beberapa waktu yang lalu," ujar Kapushidrosal Laksamana Muda TNI Harjo Susmoro, dalam keterangan tertulis, Selasa (26/2/2019).
Ia menjelaskan pelaksanaan survei lanjutan untuk pengumpulan data Hidrografi dan Oseanografi itu akan digunakan untuk mengetahui perubahan kontur kedalaman, penelitian oseanografi serta kandungan material longsoran yang diakibatkan oleh erupsi Gunung Anak Krakatau.
Hal tersebut dilakukan, mengingat posisi Gunung Anak Krakatau berada di Selat Sunda yang berdekatan dengan Archipelago Sea Lane I (ASL) atau Alur Laut Kepulauan Indonesia I (ALKI).
ALKI I diketahui memiliki intensitas traffic pelayaran tertinggi bila dibandingkan dengan ALKI II yang berada diantara Pulau Kalimantan dan Sulawesi, atau ALKI III yang berada di wilayah Timur perairan Indonesia.
"Tidak hanya itu, perairan Selat Sunda juga digunakan sebagai alur penyeberangan kapal Ferry yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera dengan intensitas penyeberangan antar pulau yang sangat padat," kata dia.
Oleh karena itu, Pushidrosal sebagai Kotama Pembinaan TNI AL dan sebagai anggota dari International Hydrographic Organization (IHO), menjalankan tugas dan kewajibannya untuk melaksanakan survey dan penelitian guna updating data serta menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran bagi kapal yang sedang bernavigasi.
"Tidak hanya di perairan Selat Sunda, namun menjamin keselamatan dan keamanan bernavigasi seluruh perairan Indonesia," imbuh Harjo.
Dalam tugas ini, KRI Spica-934 akan menggunakan berbagai macam peralatan canggih yang telah terinstal dikapal tersebut.
Peralatan itu di antaranya adalah Multi Beam Echosounder (MBES) tipe 302 dan 2040, Sub Bottom Profiler (SBP) SES 2000 dan Side Scan Sonar (SSS) GeoAcoustic 2094.
MBES akan menampilkan profil sea bed dalam visualisasi data tiga dimensi sehingga memudahkan dalam proses investigasi perubahan kedalaman perairan.
SBP akan digunakan untuk meneliti lapisan sedimen serta batuan dasar laut dan SSS digunakan untuk pencitraan longsoran material dasar laut di sekitar perairan tersebut.
Seperti diketahui, pasca terjadinya erupsi dan longsoran Gunung Anak Krakatau yang memicu tsunami pada tanggal 22 Desember 2018 silam, perairan di Selatan gunung tersebut mengalami perubahan kontur kedalaman yang cukup signifikan.
Berdasarkan data survey Hidro Oseanografi Pushidrosal 2016 dan data MBES pada 29 hingga 30 Desember 2018, diketahui perairan di selatan Gunung Anak Krakatau telah terjadi perubahan kontur kedalaman 20 hingga 40 meter lebih dangkal.
"Hal ini dikarenakan adanya tumpahan magma dan material longsoran Gunung Anak Krakatau yang langsung jatuh ke laut," ujarnya.