TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) hingga kini masih belum disahkan.
Tarik ulur terkait pasal-pasal yang dianggap akan mengancam keberadaan pengusaha air minum dalam kemasan (AMDK). Pada Pasal 54 ayat (1) F Draf Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) berbunyi ; “Pemberian izin penggunaan SDA untuk kebutuhan usaha kepada pihak swasta dapat dilakukan dengan syarat tertentu dan ketat.”
Pemberlakuan syarat ini memang sangat penting untuk melindungi keberlanjutan sumber daya air.
Namun, apa yang tertulis pada aturan itu terkesan masih normatif sehingga menimbulkan berbagai interpretasi yang berbeda-beda.
Ahi Hidrogeologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Heru Hendrayana mengatakan, aturan itu masih perlu dijelaskan secara tegas, misalnya ketat dalam hal apa.
“Apakah itu soal pemberian izin, lokasi pengelolaan, atau berapa besar jumlah air yang diusahakan atau apanya," kata Heru.
Juga mengenai syarat,harus dijelaskan syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh swasta yang akan dilibatkan dalam lingkup pengusahaan air itu.
Menurut Heru, hal-hal seperti itu menjadi pokok penting yang mesti dipertegas.
Tujuannya adalah, agar mereka yang memiliki izin atas pengusahaan air itu memiliki kompetensi yang mumpuni.
Apalagi jika dalam pembatasan dan prasyarat ini, pemerintah telah mempertimbangkan faktor penilaian risiko pada air tanah, baik kuantitas maupun kualitas, untuk meminimalisasi dampak negatifnya.
Baca: Link Live Streaming El Clasico Real Madrid Vs Barcelona Copa Del Rey Semifinal Leg 2,Tonton Lewat HP
“Jadi maunya bukan hanya semata membatasi keterlibatan swasta semata. Karena pada dasarnya, air tanah memiliki nilai vital dan nilai ekonomi yang memerlukan dukungan swasta, misalnya dalam hal investasi dan teknologi," katanya.
Agar eksploitasi dan monopoli pengelolaan SDA tidak terjadi, maka dibutuhkan keterlibatan pemerintah lewat pemberdayaan perusahaan milik pemerintah dengan bermitra dengan swasta,” katanya.
Poin penting lainnya yang mesti digarisbawahi lagi adalah mengenai definisi penguasaan terhadap sumber daya air yang juga harus diperjelas.
Demikian juga pengendalian izin, harus menjamin tidak adanya monopoli terhadap izin pengusahaan sumber daya air bagi perorangan atau badan hukum tertentu.
“Dalam RUU SDA, secara umum masih terlihat adanya ketimpangan antara pengaturan terhadap sumber daya air tanah dan air permukaan,” tuturnya.
Menurut Heru, seharusnya kedua macam sumber daya air tersebut diatur secara seimbang dan menunjukkan adanya kesatuan dalam pengelolaannya.
Dalam RUU SDA, yang ada adalah pengaturan pengelolaan sumber daya air lebih cenderung berbasis pada pengelolaan sumber daya air permukaan.
Sedangkan dasar pengelolaan sumber daya air tanah tidak banyak digunakan dan tidak banyak disinggung.
Padahal, kata Heru, pemanfaatan dan permasalahan sumber daya air lebih banyak pada sumber daya air tanah.
“Demikian juga masalah kelembagaan yang mengatur kedua sumber daya air tersebut, sangatlah tidak seimbang,” ucapnya.
Pemanfaatan sumber daya air yang berasal dari sumber air permukaan saat ini hanya 10%, sementara sekitar 90% lainnya berasal dari air tanah.
“Dengan demikian, perlu penegasan dalam RUU SDA tentang dorongan untuk memprioritaskan pemanfaatan air permukaan, dan ketergantungan pemanfaatan terhadap air tanah dapat dikurangi,” kata Heru.
Untuk itu, Heru mengusulkan agar SDA itu di bawah satu kementerian yang khusus mengelola air tanah dan air permukaan.
“Selama ini yang ada adalah pemisahan pengelolaan SDA. Yang air tanah di bawah Kementerian ESDM, sedangkan air permukaan di bawah Kementerian PUPR. Hal ini menyebabkan banyak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan pengelolaaannya, yang berakibat tidak pernah terpadunya antar instansi di tingkat daerah,” ujar Heru.
Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo, perpanjangan pembahasan RUU SDA tersebut lantaran masih alot di pihak pemerintah. Namun Bambang enggan menyebut Daftar Inventaris masalah (DIM) apa saja yang masih alot tersebut. "Masih alot di pemerintah," ujar Bambang
Tenaga Ahli Komisi V DPR M Azis Hasbi mengakui, molornya pembahasan RUU ini dikarenakan masih terfokusnya pada agenda lain yakni rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2019.
Selain itu, sampai saat ini antara pemerintah maupun pelaku industri masih belum satu suara di beberapa poin RUU SDA.
Misal, pengusaha menilai RUU SDA mempersulit mereka dalam mengakses air. Ini karena dalam RUU SDA terdapat aturan pengelolaan SDA yang dikerjasamakan dengan badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), dan badan usaha milik desa (BUMDes).
Misal, pengusaha menilai RUU SDA mempersulit mereka dalam mengakses air. Ini karena dalam RUU SDA terdapat aturan pengelolaan SDA yang dikerjasamakan dengan badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), dan badan usaha milik desa (BUMDes).