TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa Eddy Sindoro menegaskan upaya pelarian ke luar negeri setelah penetapan status tersangka oleh penyidik KPK dilakukan untuk menjalani pengobatan.
Alasan melarikan diri itu diungkapkan saat membacakan nota pembelaan "Melewati Ujian Penerimaan Menyongsong Hari Depan" di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Senin (4/3/2019) malam.
"Saya berangkat 23 April 2016 guna mencari solusi kesehatan," kata Eddy saat membacakan nota pembelaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Senin (4/3/2019) malam.
Semula, dia berniat, pergi ke Amerika Serikat. Namun, belakangan, dia mengurunkan, niat. Akhirnya, dia memilih berangkat ke Singapura.
Rencana kepergian ke Negeri Paman Sam itu terpaksa dibatalkan, setelah mengetahui informasi KPK melakukan operasi tangkap tangan kepada panitera/sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution dan Doddy Ariyanto Supeno, selaku pihak swasta, di Hotel Accacia, Jakarta Pusat, pada 20 April 2016.
"Sebagai gantinya saya singgah ke Singapura sebagai tahap pertama kesehatan saya. Saya tidak bisa dapat solusi kesehatan di Indonesia. Secara lebih konkrit saya usaha untuk menemukan solusi saya bagi permasalahan kesehatan kronis saya," ungkapnya.
Baca: Bacakan Pembelaan, Eddy Sindoro Mengaku Terkejut Dituntut 5 Tahun Penjara
Melalui nota pembelaan itu, dia mengungkapkan mengenai kondisi kesehatan yang dinyatakan sudah memasuki tahap kronis.
"Penyumbatan pembuluh darah di arteri di sana dada artinya ini risiko jantung dan stroke. Kedua, frozen shoulder hnp ataua saraf kejepit. Vertigo belum ditemukan solusi tuntas, asma, paska heumonia dan lasca TBC Paru. Lalu, penurunan hormon, perlengketan usus pasca operasi," kata dia.
Hingga akhirnya, Eddy menyerahkan diri kepada KPK. Proses penyerahan diri melalui pihak otoritas Singapura. Pada Jumat (12/10/2018) pagi, tim penyidik KPK menjemput Eddy untuk dibawa pulang ke tanah air.
"Oktober 2018, saya ke KBRI Singapura. Akhirnya, saya langsung dijemput KPK dan langsung ke gedung KPK. Tidak pernah saya melarikan diri saat proses penyidikan," kata dia.
Selama menjalani proses hukum, dia menambahkan, tidak
pernah berobat ke klinik ataupun rumah sakit. Upaya ini dilakukan, karena dia bersikap kooperatif dan agar proses hukum berjalan lancar.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK menuntut terdakwa Eddy Sindoro dituntut 5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Petinggi PT Paramount Interprise Internasional itu diyakini menyuap Edy Nasution selaku panitera pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat sebesar Rp 150 juta dan USD 50 ribu.
Pemberian uang itu dilakukan agar Edy Nasution menunda proses pelaksanaan aanmaning terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana atau PT MTP dan menerima pendaftaran peninjauan kembali PT Across Asia Limited atau PT AAL meskipun telah lewat batas waktu yang ditentukan undang-undang.
Aanmaning sendiri dalam dunia hukum merupakan peringatan berupa pemanggilan kepada pihak tereksekusi untuk melaksanakan hasil persidangan perkara serta hasil keputusannya secara sukarela.
Dalam uraiannya JPU KPK menyatakan untuk kasus penundaan aanmaning Eddy Sindoro melalui Wresti Kristian Hesti Susetyowati menyerahkan Rp 100 juta kepada Eddy Sindoro yang diterima oleh Doddy Aryanto Supeno.
Sementara untuk pengajuan PK PT AAL Eddy Sindoro yang juga melalui Wresti menyerahkan uang hadiah sejumlah Rp 50 juta dan 50 ribu US Dolar.
Eddy Sindoro dituntut melakukan pelanggaran pidana pada Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.