Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rizal Bomantama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kontroversi Pasal 104 RUU (Rancangan Undang-undang) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) disampaikan oleh sejumlah lembaga perhimpunan penyandang disabilitas saat audiensi dengan Komisi VIII DPR RI di Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (8/3/2019).
Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Maulani Rotinsulu menjelaskan, Pasal 104 itu berisi keterangan bahwa pemasangan alat kontrasepsi secara paksa adalah hal pidana kecuali kepada penyandang disabilitas mental atau intelektual dengan persetujuan keluarga atau tenaga ahli.
Baca: Sejumlah Lembaga Penyandang Disabilitas Minta DPR Percepat Pembahasan RUU PKS
“Masalahnya adalah ketika pemasangan alat kontrasepsi secara paksa itu dianggap bukan tindak pidana jika dilakukan kepada penyandang disabilitas, dengan begitu penghormatan atas integritas seseorang dilanggar, meskipun dia adalah penyandang disabilitas, seharusnya ditanyakan apakah mereka mau dipasangi, mereka diajak bicara tidak susah kok,” ungkap Maulani.
Maulani mengatakan Pasal 104 itu seperti duri dalam daging bagi RUU PKS tersebut.
“Pasal 104 itu melanggar komitmen RUU PKS itu sendiri dalam berpihak ke korban, itu kan sama sekali tidak berpihak kepada korban,” tegasnya.
Selain itu dirinya dan lembaga perhimpunan penyandang disabilitas lainnya meminta DPR RI dan pemerintah mempertimbangkan Pasal 8 dalam draft RUU PKS.
“Pasal 8 itu mengatur sistem pendampingan bagi penyandang disabilitas dalam kasus pelecehan seksual, menurut kami harus dibolehkan ada pendamping dalam mengambil keputusan, sementara dalam pasal itu menyebut penyandang disabilitas bisa mengambil keputusan sendiri,” pungkasnya.
Sebelumnya mereka juga mendesak agar Komisi VIII DPR RI segera membahas dan menyelesaikan RUU (Rancangan Undang-undang) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Lembaga-lembaga tersebut menganggap RUU PKS mampu menyelesaikan keresahan yang dialami penyandang disabilitas yang selama ini seperti tidak mendapat hak yang semestinya di mata hukum dalam kasus-kasus kekerasan seksual.
Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia, Yeni Rosa Damayanti mengatakan bahwa RUU PKS ini memberikan banyak jaminan bagi penyandang disabilitas di mata hukum daripada UU KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
“Misal dalam RUU PKS memberatkan hukuman bagi pelaku jika korbannya adalah penyandang disabilitas, aspirasi kami tersampaikan melalui RUU ini, oleh karena itu kami mendesak untuk segera dibahas dan disahkan,” ujarnya.
Selain itu dirinya juga menyampaikan sejumlah masukan agar RUU PKS semakin melindungi penyandang disabilitas dari kekerasan seksual.
“Kita lihat KUHP terlalu kaku dengan istilah ‘terpaksa’ dalam mendefinisikan kekerasan seksual, padahal seperti yang diceritakan tadi bahwa ada penyandang disabilitas yang di bawah pengaruh obat ketika pelecehan terjadi, lalu penyandang disabilitas selalu tak berdaya ketika dilecehkan karena ada perasaan takut dan lain-lain,” jelasnya.
Mereka pun ditemui tiga anggota Komisi VIII DPR RI sekaligus anggota Panja (Panitia Kerja) RUU PKS yaitu Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, Diah Pitaloka, dan I Gusti Agung Putri Astrid.
Lembaga perhimpunan yang ikut dalam audiensi iti antara lain Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia (PJSI), Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni), Gerakan Untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin), Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI), Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), dan Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA).