TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Menggemparkan, ketika Andi Arief, saat itu menjabat Wakil Sekjen Partai Demokrat, ditangkap polisi di sebuah kamar Hotel Menara Peninsula, Jakarta, Minggu, 3 Maret 2019 lalu, karena diduga sebagai pengguna narkoba. Meski hasil tes urine menunjukkan positif, Andi Arief tidak dijaring sebagai tersangka.
Polisi beralasan tidak menemukan barang bukti berupa narkoba. Polisi hanya menemukan bong, alat isap sabu-sabu, setelah membongkar kloset di kamar hotel. Andi Arief hanya wajib menjalani rehabilitasi, diawasi Badan Narkotika Nasional (BNN).
Baca: Polisi Sebut Tersangka Perampokan di Jembatan Besi Jakbar Positif Gunakan Narkoba
Pada saat hampir bersamaan penyanyi Ridho Irama, putra Raja Dangdut Rhoma Irama, harus menghuni penjara lagi karena Mahkamah Agung (MA) memperberat hukuman dari 10 bulan penjara dan rehabilitasi 6 bulan 10 hari, menjadi 1,5 tahun. Ridho juga pengguna narkoba dan ditangkap pada Maret 2017.
Kasus Andi Arief berubah menjadi polemik politik. Fungsionaris Partai Gerindra, Arief Poyuono, menyebut Andi Arief cuma jadi korban kegagalan pemerintah Joko Widodo dalam pemberantasan narkoba di Indonesia.
Apa sebenarnya yang terjadi? Berikut petikan wawancara Tribun Network dengan Kepala BNN, Komjen Pol Heru Winarko, yang pernah menjabat Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di kantor BNN, Jakarta, Jumat (29/3).
Beberapa waktu lalu elite Partai Demokrat keciduk kasus narkoba di sebuah hotel di Jakarta, namun kemudian jadi polemik politik karena disebut sebagai bukti kegagalan pemerintah memberantas narkoba. Ini bagaimana?
Saya lihat yang menggunakan narkoba itu hampir semua lapisan. Kami tangani semua lapisan, sehingga tak ada kata lain kita harus sama-sama. Orang lain melihat BNN memberantas terus. Alat-alat kami tingkatkan.
Malah saya kirim deputi saya keluar (ke luar negeri) untuk cari alat-lat yang bagus. Anak-anak muda yang bisa bikin alat kami ajak untuk bantu. Kami all out pasti.
Baca: Bandar Narkoba yang Diduga Jaringan Lapas Madiun Dibekuk di Jalan Tol Jombang-Mojokerto
Jadi penanganan narkoba itu tidak bisa parsial. Tidak bisa hanya memberantas atau hanya mecegah.
Misalnya kami hanya fokus melakukan rehabilitasi, yang mau direhab siapa. Misal kita fokus menangkap para pengguna untuk direhab, tapi tempat rehabnya tidak ada.
Anda setuju politisi yang terciduk kasus narkoba terkait politik?
Saya nggak setuju. Menurut saya kasus narkoba itu nggak ada yang intervensi. Cuma memang ini yang kami bangun benar yaitu soal persepsi penanganan kasus narkoba antara penyidik, jaksa, dan hakim.
Tidak seperti pidana biasa: tangkap masuk sel, tangkap masuk sel. Harus ada assessment, ini yang kami kembangkan. Assessment bukan hanya direhab dan kesehatan, tapi juga soal jaringannya. Terkait nggak si pengguna ini.
Orang ketangkap bawa narkoba, atau pakai narkoba, perannya dia apa di sini. Itu yang harus kita bedah, jadi tidak pukul rata. Misalnya ketangkap lima orang padahal yang bawa berapa, yang lain cuma nyoba, tapi dipukul rata semuanya. Kan kasihan. Tiba-tiba yang pakai (pengguna) divonis 8 tahun penjara, anak muda lagi. Selesai sudah.
Kalau misalnya orang hanya pengguna terus divonis 8 tahun, kan kasihan juga. Jadi saya di sini mengajak semuanya, mulai penyidik polri, kejaksaan, hakim.
Baca: Kemenpora Gelar Pelatihan Kader Anti Narkoba di Kendari
Soal lain, kasus Ridho Irama dikirim ke penjara lagi oleh MA. Bagaimana tanggapan BNN?
Kami lagi pelajari kasus Ridho Irama. Pengguna kalau misalnya membawa lebih dari 1 gram bisa dikenakan pasal bukan hanya pengguna, tapi juga pembawa.
Barangkali, pertimbangan MA karena dia publik figur. Kalau lebih dari 1 gram bukan hanya dikenakan pasal pengguna tapi pembawa dan ancamannya lebih dari 5 tahun.
Menurut Anda, apa yang menyebabkan artis berada di pusaran narkoba?
Biasanya mereka dikejar kerjaan, dalam sehari bisa 20 jam syuting. Mau nggak mau mereka harus dalam kondisi fit dan prima terus.
Dari situ ada yg masuk, nih suplemen biar sehat. Ngomongnya bukan narkoba. Awalnya gratis tapi lama-ma bayar juga. Ini yang kami sampaikan kepada mereka.
Pada 2019 ini ada nggak jenis narkoba baru?
Pasti ada, macam‑macam jenis narkobanya. Sekarang bicara narkoba itu bicara laboratorium.
Bagi mereka yang penting harga semurah mungkin dan efek sedahsyat mungkin. Itu yang paling laku.
Laboratorium kami bisa mengidektifikasi ini dari mana. Jenisnya banyak, ada yg likuid (cair) dan macam2. Kebanyakan bahannya dari luar. Misalnya kayak jenis rokok yang nggak ada nikotinnya, kan agak susah.
Apa target Anda sebagai Kepala BNN pada 2019?
Target saya di 2019 adalah semakin berkurangnya masuknya narkotika dan harapan saya juga makin berkurang penggunanya.
Untuk internal di BNN saya minta Badan Nasional Narkotika Provinsi (BNNP) dan BNN Kota/Kabupaten semakin baik, semakin inovatif sehingga kami bisa memberikan reward juga bagi yang berprestasi.
Sudah satu tahun menjabat sebagai Kepala BNN, lebih kerasan dan nyaman di mana, Komisi Pemberantasan Korupsi atau di BNN?
Sama saja menurut saya. Kalau di KPK saya posisi deputi. Di sini sebagai Kepala BNN saya harus pikirkan karier, kesejahteraan, keluarga, dan segala macam.