TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Utama Rumah Sakit Jiwa Dr Soeharto Heerdjan Laurentius Panggabean mengatakan, calon anggota legislatif maupun calon presiden dan calon wakil presiden yang gagal di pemilu, berpotensi depresi.
Namun, meski mengalami depresi yang tinggi, pihaknya belum dapat memastikan yang bersangkutan mengalami gangguan kejiwaan, karena ada gangguan yang bisa pulih dua atau tiga hari setelahnya.
"Mungkin dia membayangkan atau semakin besar harapannya itu. Semakin tinggi orang terbang, jatuhnya makin berat, maka mungkin dia gangguan, tetapi gangguan-gangguan ini kan sifatnya dia masih bisa penyesuaian, dia enggak mesti gangguannya jadi lama," kata Laurentius Panggabean, Selasa (16/4/2019).
Baca: Kronologis Caleg dan Timses Partai Gerindra yang Dilaporkan Lakukan Money Politics
Menurut Laurentius, ada beberapa indikator seseorang mengalami gangguan jiwa, di mana ada perubahan pola perilaku, salah satunya susah tidur atau perubahan pola makan.
Atau, jika biasanya mereka aktif, kini menjadi lebih pasif.
"Misalnya yang sederhana itu kalau ada perubahan makan, perubahan tidur. Tadinya bisa tidur, sekarang susah tidur," jelasnya.
"Atau tadinya semangat ke mana-mana, jadi tidak mau ke mana-mana. Tadinya bisa makan sekarang enggak mau makan, atau malah makan terus, itu gangguan," sambungnya.
Perubahan-perubahan itu dikategorikan gangguan jiwa, setelah yang bersangkutan mengalami perubahan perilaku selama dua minggu.
Baca: Diduga Terkait Politik Uang, Polisi Tangkap Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Sandi Nias
Jadi, paparnya, bisa saja perubahan perilaku itu menjadi pemicu gangguan kejiwaan. Untuk itu, Laurentius meminta orang-orang yang mengalami perubahan tadi, segera melakukan pengobatan untuk pemulihan.
"Jadi setiap kali ada perubahan-perubahan seperti itu, sebaiknya dia dibawa berobat ke rumah sakit untuk dilihat atau dirawat sesegera mungkin. Jangan nanti sampai hilang pekerjaannya, hilang masa depannya, hilang kontak sosialnya, jadi segera mungkin dipulihkan," paparnya.
Pihaknya mengaku tak ada persiapan-persiapan khusus untuk menangani pasien-pasien yang depresi, seperti caleg yang gagal dalam Pemilu.
Seluruhnya, dilakukan secara umum seperti pasien yang melakukan pengobatan di RSJ Grogol.
Meski begitu, ia mengaku hingga tahun lalu tidak menemukan secara spesifik gangguan yang disebabkan oleh kegagalan di pemilihan umum. Menurut Laurentius, bisa saja pasien gangguan jiwa karena genetik psikologisnya.
"Tidak ada yang spesifik seperti itu, kalau dia bilang setelah pemilu kan belum tentu juga. Untuk menentukan penyebab gangguan jiwa itu sakit, bisa saja gangguan jiwa itu karena genetik psikologis, atau tidak memiliki kematangan jiwa yang baik, kemudian sosial. Apabila seseorang mendapat tekanan sosial yang berat, bisa mengakibatkan gangguan jiwa," urainya.
Sebelumnya, Laurentius Panggabean, Direktur Utama Rumah Sakit Jiwa Dr Soeharto Heerdjan mengatakan, pihaknya tetap memberikan hak pilih kepada pasien gangguan jiwa yang dirawat di RSJ Grogol.
Syaratnya, pasien tersebut harus dalam kondisi tenang dan stabil.
Jika pasien tidak dalam kondisi stabil, maka pihak rumah sakit tidak merekomendasikan pasien untuk mengikuti pemilihan umum atau datang ke TPS untuk memberikan hak pilihnya.
"Gangguan jiwa bertaraf tidak stabil itu tidak dianjurkan, kenapa? Karena jika diikutsertakan tidak bisa seperti yang lain mengikuti proses. Tapi jika dia dalam keadaan tenang, silakan, itu boleh," kata Laurentius Panggabean saat ditemui, Selasa (16/4/2019).
Meski begitu, pihaknya mengaku tidak membatasi atau melarang pasiennya yang akan mengikuti pencoblosan, asal sesuai kondisi fisik stabilitas pasien, yaitu kesadaran pasien untuk melakukan aktivitasnya.
Jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit saat hari pencoblosan kurang lebih sebanyak 70 persen, dari 300 kuota pasien yang sudah terisi. Artinya, sekitar 210 orang gangguan jiwa dirawat di RS Jiwa Soeharto Heerdjan.
Pasien yang dirawat terbagi menjadi tiga kategori, yakni tenang, tenang dan persiapan pulang, serta belum stabil.
Jika hingga 17 April pasien belum stabil, pihak rumah sakit tidak akan mengizinkannya untuk keluar karena berisiko. Pasien bisa saja tiba-tiba membahayakan diri sendiri atau orang lain.
"Ketika dia tidak dapat memutuskan menilai daya kemampuan untuk menilai realita. Contohnya halusinasi, itu tidak bisa walaupun dikasih hak, yang penting kita tidak boleh membatasi hak orang," tuturnya.
"Jadi kita berikan hak semua pasien di sini, tapi kalau dia mampu. Kalau tidak mampu ya tidak diberikan," sambungnya.
Kata Laurentius, kebanyakan pasien di RSJ Grogol tidak dalam keadaan stabil, sehingga mereka tidak diberikan atau direkomendasikan untuk memberikan hak pilihnya.
Pasien yang sudah tenang akan difasilitasi untuk memberikan hak suaranya. Pasien itu akan dihadirkan ke TPS yang tak jauh dari RSJ Grogol, atau bisa menggunakan haknya di domisili masing-masing. Tak ada TPS di RSJ Grogol.
"Tapi Kebanyakan pasien di sini belum stabil untuk dibawa keluar. Karena kan kondisi di sini mereka di rawat 21 hari. Kalau dia baru masuk ya belum bisa, jadi tergantung masa perawatan. Kalau udah stabil mereka bisa pulang. Tapi kalau yang masih di sini mereka belum stabil," paparnya.
Sebelumnya diberitakan, Kepala Panti Bina Laras Harapan Sentosa 2 Tuti Sulistyaningsih mengakui pihaknya mengalami kesulitan saat nanti mengarahkan warga binaan yang mayoritas merupakan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), saat pemungutan suara 17 April mendatang.
"Kendala pasti ada karena mereka kan bukan manusia yang umum, yang sehat jiwanya. Kelihatannya sehat, tapi jiwanya mereka kan masih masa pengobatan, di sini sudah fase stabil," ungkap Tuti di lokasi, Jakarta Timur, Senin (15/4/2019).
ODGJ yang berhak melakukan pemungutan suara harus lah mereka yang berada dalam fase stabil, atau yang disebutnya sebagai tingkat stabil 2.
"Kendalanya kan mereka kadang-kadang daya ingat mereka yang tidak lekang. Kalau kita mungkin dikasih sosialisasi pertama sudah langsung ingat, oh begini, lihat orang saja sudah langsung," paparnya.
"Kalau mereka kan tidak, mereka harus dipersiapkan, maka ada tiga kali pendidikan dan pelatihan untuk mereka. Pertama, dari KPU tingkat wilayah kota, tingkat provinsi, dan dari relawan lintas disabilitas yang didampingi oleh KPU," sambungnya.
Tuti mencontohkan, kendala yang mungkin akan dihadapi pihaknya adalah ketika seorang ODGJ dipanggil namanya di dalam TPS, namun ia tak langsung menanggapinya dan hanya diam duduk di kursi TPS.
"Ketika dipanggil, dia, enggak seperti kita yang kalau belum dipanggil. Oh setelah ini kita, nah dia enggak. Jadi tetap perlu ada pemantik, 'hey kamu dipanggil, ayo ke sana', paling kita nuntun ke panitia, nanti ke bilik dia sendiri. Petugas hanya boleh sejauh itu, kita enggak punya kepentingan apa-apa, tidak mengarahkan yang sifatnya pilihan dia," paparnya.
Tuti Sulistyaningsih mengatakan, warga binaan yang tergolong sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), tak akan didampingi saat melakukan pencoblosan pada Pemilu 2019, 17 April mendatang.
"Paling kita nuntun ke panitia, nanti ke bilik (suara) dia sendiri. Petugas enggak boleh sejauh itu, kita enggak punya kepentingan apa-apa, tidak mengarahkan yanng sifatnya piluhan dia," kata Tuti di lokasi, Senin (15/4/2019).
Tuti menuturkan, petugas panti nanti hanya menyiapkan warga binaan untuk siap menuju TPS, yang telah didirikan di dalam area panti.
Demi memudahkan proses pemungutan suara, pihak panti telah menyiapkan gelang bertuliskan nama warga binaan, supaya memudahkan proses komunikasi antara petugas TPS dan warga binaan.
"Untuk menpermudah nanti kita kasih nama, nama sudah kita siapin. Nanti dipanggil nama dan TPS-nya untuk mempermudah kendala-kendala yang mungkin terjadi," terang Tuti.
Tuti melanjutkan, pengelola panti bersama Komisi Pemilihan Umum telah tiga kali menggelar sosialisasi terhadap warga binaan, yang mencakup tata cara pemilihan dan pengenalan kandidat. (*)
Penulis: Joko Supriyanto