Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setidaknya sebanyak 167 orang meninggal dunia saat melaksanakan tugas sebagai penyelenggara Pemilu Legislatif (Pileg) yang diselenggarakan serentak dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Mereka adalah 119 petugas KPPS yang meninggal dunia. Selain petugas KPPS, pelaksanaan rangkaian proses Pemilu Serentak 2019 juga menelan korban dari institusi lain.
Dari Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) sebanyak 33 orang dan dari kepolisian yang mengawal logistik dan mengamankan TPS sebanyak 15 anggota.
Belum lagi saksi dari calon di Pemilu yang juga dikabarkan banyak yang jadi korban.
Selain itu, Masih terdapat 459 orang petugas yang jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit yang tersebar di hampir seluruh provinsi.
Baca: Berhonor Rp 500 Ribu Sudah Ada 90 Yang Meninggal, Begini Beratnya Jadi Petugas KPPS
Baca: Jokowi di Ambang Rekor, Jika Menang Lagi Maka Jadi Jawara 5 Kali Pemilu
Banyaknya korban petugas pemilu serentak, mengundang penyesalan mendalam bagi Effendi Gazali.
Effendi Gazali merupakan Pengaju Judicial Review Pemilu Serentak ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014 lalu.
Di banyak kesempatan, selaku pengaju Judicial Review untuk Pemilu Serentak, Effendi Gazali sudah menyatakan menyesal mengajukan Judicial Review jika hasil UU Pemilunya seperti UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
"Sejak dua tahun lalu kami juga terang-terangan mengimbau agar pemilu kita dikembalikan saja seperti tahun 2014, daripada Pemilu Serentak 2019 dipaksakan dengan memberlakukan Presidential Threshold!" ujar Effendi Gazali kepada Tribunnews.com, Selasa (23/4/2019).
Karena itu Effendi Gazali turut berdukacita atas meninggalnya para petugas KPPS, Panwas, polisi dan berbagai pihak terkait Pemilu Serentak 17 April 2019.
"Tidak ada orang yang meragukan bahwa kita ikut berduka cita sedalam-dalamnya," ucap Effendi Gazali.
Sambil terus mendoakan para “pahlawan” pemilu serentak yang telah berpulang dalam melaksanakan tugasnya, dia mengajak semua pihak untuk memperbaiki sistem pemilu kita dengan jernih.
Janganlah pengorbanan para "pahlawan" pemilu serentak itu sia-sia hanya karena bangsa ini terus dipaksa dengan pilihan hanya dua pasangan, atau bahkan calon tunggal, yang bisa dipastikan lebih tajam konfliknya dengan ujaran kebencian di era media sosial ini.