"Akibatnya tidak banyak waktu kita sebagai bangsa tersisa untuk melaksanakan manajemen pemilihan umum yang lebih tenang, tertib, dan memikirkan sungguh-sungguh kesejahteraan pemilih dan pelaksana pemilu," kata Effendi Gazali.
Baca: Masalah Sepele Ini Jadi Sebab Tersangka Memotong Leher Budi Hartanto Usai Membunuhnya
Baca: Ini Omongan Audrey yang Bikin Pelaku Sakit Hati? Bukan Masalah Cowok, Seret Almarhum Ayah
Ia pun menjelaskan, selama JR ke Mahkamah Konstitusi (MK), dirinya dan para ahli sudah antara lain mengusulkan Pemilu Serentak terbagi dua. Satu, Pemilu Serentak Nasional, memilih presiden, DPR, dan DPD.
Dan kedua, Pemilu Daerah serentak memilih Kepala Daerah, DPRD tingkat provinsi, dan DPRD tingkat kabupaten/kota.
"Hal itu telah berkali-kali kami diskusikan dan sampaikan ke media bersama berbagai unsur Civil Society. Bahkan juga kami sampaikan kemudian saat peluncuran buku Mendagri Tjahjo Kumolo tentang “Dasar Hukum Pilkada Serentak” di Kemendagri, 1 Desember 2015," ungkapnya.
Namun, ternyata Pembentuk Undang-Undang tidak kunjung membuat kodifikasi tersebut. Berbagai masukan yang ia sampaikan lewat media maupun datang langsung ke DPR seperti terbuang percuma. Misalnya, soal definisi dan masa “kampanye”.
Hal lain yang menghabiskan banyak waktu, bahkan sampai diwarnai walk-out berbondong-bondong pada malam paripurna pengesahan UU Pemilu, adalah soal Presidential Threshold (ambang batas persyaratan mengajukan calon presiden). Apakah 0 persen, 10 persen, atau 20 persen? Akhirnya setelah diwarnai voting, UU Pemilu disahkan 21 Juli 2017, dini hari.
"Ambang batas pencalonan presiden ditetapkan 20 persen dan diambil dari pemilu legislatif 5 tahun sebelumnya. Inilah satu-satunya pemilu serentak di dunia yang memakai Presidential Threshold yang diambil dari pemilu legislatif sebelumnya!" tegasnya.
Baca: Prakiraan Cuaca DKI Jakarta Hari Ini Rabu 23 April 2019, Waspada Hujan Petir di Jaktim dan Jaksel
Jelas dalam aturan Presidential Threshold ini sangat kentara keinginan memperoleh atau mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang tidak apik. Yang dibatasi adalah kompetitor tidak boleh masuk dalam kompetisi.
Dengan adanya presidential threshold, paling banyak satu pasangan kompetitor yang dapat masuk, dan itupun kalau bisa kompetitor yang paling lemah.
"Tapi mereka lupa bahwa jika hanya dua pasangan capres maka konfliknya bisa menuju 100 persen," jelasnya.
Apa akibat selanjutnya? Nasib yang tak dapat ditolak menurut dia, Pemilu Serentak 2019 datang di tengah kejamnya media sosial.
Maka sebagian besar energi bangsa habis untuk menganalisis, menengahi, atau mengajukan tuntutan di seputar hoaks.
Waktu KPU, Bawaslu, dan banyak aparat negara, serta para politisi, imbuh dia, habis digunakan untuk memberantas hoaks.
"Mulai dari 7 kontainer surat suara sudah tercoblos, server KPU yang sudah disetting sedemikian rupa di luar negeri, serta aneka ujaran kebencian dan pencemaran! Sangat sedikit kita dengar waktu, tenaga, energi yang digunakan untuk sosialisasi dan simulasi apa yang akan terjadi pada Pemilu Serentak," paparnya.
Baca: Khawatir Di-Hack, Input Data C1 Tim Prabowo-Sandi di Kedai Kopi dan Rumah Relawan