Selain itu dirinya juga memaksimalkan posisinya sebagai pengurus Organisasi Muhammadiyah.
Usahanya merupakan warisan orangtuanya yang sudah berdiri sejak 1970-an.
Usaha tesebut ia teruskan pada tahun 2006 setelah sebelumnya dirinya berkecimpung di dunia bisnis transportasi.
Dwi Handoko harus rela banting stir sebagai tukang reparasi sepatu lantaran bisnis transportasi bangkrut.
Ia menceritakan, hasil dari bisnis sol sepatu tidak menentu.
Kurang lebih ia mendapat Rp 50 ribu perharinya.
"Dari hasil itu untuk membiayai keluarga dan juga sekolah anak, anak pertama alhamdulillah diterima sebagai CPNS sedangkan anak kedua saya baru skripsi," katanya.
Ia mengaku, setiap beberapa hari sekali mengikuti pengajian rutin, dari situlah dirinya mengajak para jemaah untuk berdiskusi mengenai pencalegan yang ia lakukan.
"Bukan pada pengajiannya, tetapi setelah pengajian itu saya memperkenalkan diri dan mengajak berdiskusi dan hingga saat ini belum pernah diperingatkan oleh Bawaslu," katanya.
Tak berhenti sampai di situ, dirinya juga bertandem dengan caleg provinsi maupun pusat untuk memperkenalkan dirinya kepada warga.
Dwi juga mengaku tidak membuat baliho atau rontek yang dipasang di pinggir jalan.
"Saya hanya membuat stiker-stiker kecil yang ditempelkan di beberapa tempat, saya ingin membuktikan bahwa caleg itu bukan diukur dari materi yang dipunyai tetapi caleg berkualitas diukur dari Sumber Daya Manusia (SDM)," jelasnya.
Baca: Sudah 6 Caleg Stres Datangi Padepokan Anti Galau Yayasan Al Busthomi di Cirebon
Dalam Pemilu 2019 kali ini, dirinya menargetkan sebanyak 2.500 suara yang sebagian didapat dari organisasi Muhammadiyah maupun tetangga sekitarnya.
Jika terpilih nanti ia akan memperjuangkan wong cilik dan tidak akan lupa kepada para pemilihnya.