News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Rencana Pemindahan Ibu Kota

Jonggol Nyaris Jadi Ibu Kota RI di Era Ode Baru, Kenapa Akhirnya Batal? Padahal Sudah Ada Keppres

Penulis: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Foto ilustrasi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gagasan pemindahan ibu kota Indonesia dari DKI Jakarta, yang dinilai tidak lagi layak menjadi pusat pemerintahan, senantiasa muncul di setiap era presiden.

Kali ini gagasan tersebut mendapat dorongan segar setelah dibahas di tingkat rapat kabinet terbatas pada Senin (29/04).

Rapat terbatas itu dipimpin oleh Presiden Jokowi yang mengakui pemindahan ibu kota bukanlah tugas mudah. "Tapi saya meyakini insyaallah kalau dari awal kita persiapkan dengan baik, maka gagasan besar ini akan bisa kita wujudkan," kata presiden seperti dikutip BBC Indonesia, kemarin.

Sedikit menengok sejarah, rencana memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta sebenarnya bukan cerita baru.

Tahun 1808, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels, sudah mengangankan ibukota pindah ke Surabaya.

Alasannya, Surabaya dinilai lebih sehat dari Batavia.

Baca: Warga Senang Jika Palangkaraya Jadi Ibu Kota RI, Ada Juga yang Takut Penduduk Lokal Termarjinalkan

Baca: Jokowi Tanya Netizen: Ibu Kota RI Sebaiknya Pindah ke Mana? Alasannya Apa?

Baca: Jika Ibu Kota Dipindah, Bagaimana Nasib Pembangunan di Jakarta?

Ada juga pertimbangan faktor pertahanan dan keamanan, karena letaknya dekat dengan pangkalan armada laut Belanda di Gresik. Kabarnya Daendels juga sempat melirik Bogor, yang dulu bernama Buitenzorg.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersalaman dengan penyandang disabilitas saat mencoba menggunakan moda transportasi MRT, di Jakarta. (Dok. Istimewa) ((Dok. Istimewa))

Beberapa waktu kemudian, pemerintah kolonial kabarnya juga sudah mempersiapkan Bandung. Alam yang sejuk dan dikelilingi pegunungan menjadi pertimbangan.

Salah satu bukti persiapan itu berupa pembangunan Gouvernements Bedrijven, sekarang disebut Gedung Sate, yang direncanakan sebagai bakal kantor pemerintahan.

Bandung juga sempat diisukan akan menggantikan Jakarta sebagai ibukota Indonesia.

Tapi gara-gara Perang Dunia II rencana ini gagal. Di masa kemerdekaan, Bung Karno pernah memerintahkan untuk mempersiapkan Palangkaraya yang saat itu masuk dalam Provinsi Kalimantan Selatan.

Konon, gagasan itu muncul setelah Bung Karno melihat pembangunan kota Brasilia, yang tengah dipersiapkan menjadi ibukota negara Brasil.

Bisa jadi Palangkaraya terpilih lantaran letaknya mirip Brasilia, berada di tengah-tengah wilayah negara, sehingga diharapkan mendorong pembangunan yang lebih merata.

Pada masa Orde Baru pernah disebut-sebut tentang kawasan Jonggol Jawa Barat, yang katanya juga dipersiapkan sebagai ibukota negara.

Malah sempat dikeluarkan Keputusan Presiden yang khusus mengatur pengembangan kawasan seluas 30 ribu hektar itu. Tapi belakangan proyek itu ternyata cuma akal-akalan sejumlah pengusaha agar bisa menaikkan harga tanah setempat.

Begitu rezim Soeharto tumbang, rencana pun terbengkalai. Yang tertinggal sekarang hanyalah kerusakan hutan lindung saja. Rencana tinggal rencana, yang jelas kondisi Jakarta kini sudah memasuki lampu kuning.

Dalam pemikiran Herdianto, masalahnya bukan hanya sekadar bencana alam seperti banjir, tapi juga daya dukung kota ini.

Jika dihitung menggunakan metode tapak ekologis (ecological footprint) yaitu menghitung luasan lahan produktif yang dapat memenuhi kebutuhan pangan, energi, dan jasa lingkungan penduduk kota, diketahui daya dukung Jakarta ternyata cuma untuk enam juta orang saja.

"Artinya sejak tahun 1986 sudah terlampaui," jelas Herdianto.

Dengan situasi seperti itu, wajar jika akhirnya muncul berbagai masalah yang mencekik leher warganya sendiri.

Kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas, polusi, perumahan yang terbatas, air tanah yang tercemar, sampai wabah penyakit yang selalu terjadi setiap tahun. Sejumlah ahli bahkan meramalkan, situasi ini bakal semakin memburuk tahun demi tahun ke depan.

Bangunan-bangunan tinggi nan megah, jalanan mulus, insfrastruktur yang relatif baik di Jakarta seolah tidak ada artinya. Masalahnya, tingkat ketaatan masyarakat terhadap peraturan masih sangat rendah.

Pelanggaran bisa terjadi di mana-mana dan dilakukan siapa saja. Yayat menilai, situasi itu adalah bukti gagalnya proses transisi dari daerah tradisional ke kota modern. 

Masalah juga bisa timbul dari pejabat pemerintah daerah yang menurut Yayat tidak konsisten menerapkan perencanaan yang tertuang dalam rencana tata ruang.

Banyak bangunan yang menyimpang dari rencaa yang semestinya bersifat jangka panjang itu.

“Busway dan jalan tol dalam kota itu bagus, tapi tidak ada dalam rencana tata ruang,” kata pria kelahiran Medan 1965 itu.

Padahal pembangunan yang jelas-jelas juga merusak perencanaan awal, jumlahnya lebih banyak lagi.

Ada juga andil segelintir orang pemegang modal yang membuat perencanaan kota menjadi berantakan. Dengan segepok uang, perencanaandiatus agar berpihak ke mereka. Dalam istilah Yayat, rencana tata ruang DKI hanya promarker dan bukan pro-rakyat.

Jakarta akhirnya menjadi kota yang dibangun dengan modal kapital besar-besaran, tapi modal sosialnya nol. Akibatnya masyarakat tidak punya rasa percaya satu sama lain dan tidak ada kehidupan sosial yang lebih baik.

Jakarta menjadi kota yang megah tapi tidak ramah.

Nyaman terproteksi

Memindahkan sebuah ibukota jelas bukan perkara mudah. Biayanya pun tidak murah.

Tapi bukan di situ saja permasalahannya. "Butuh suatu keputusan politik yang kuat dari pemerintah dan DPR,” tegas Paulus yang diamini Yayat dan Herdianto.

Dulu, DPR kabarnya pernah meminta pendapat pendapat kepada sejumlah ahli terhadap wacana ini. Entah bagaimana kabarnya sekarang.

Tapi seandainya megaproyek itu siap bergulir dan akhirnya diputuskan untuk membangun suatu kota yang sama sekali baru, Yayat berharap dilakukan perencanaan yang matang terhadap calon ibukota itu, agar tidak mengulang "kesalahan" Jakarta.

Di lahan itu, bukan cuma infrastruktur dan fasilitas yang akan dibangun serbabaru, tapi juga aturan-aturan menyangkut kewilayahan dan masyarakatnya.

Sebuah kota yang baik, menurut Yayat, idealnya memiliki pengaturan kawasan (zonasi). Ada kawasan khusus perdagangan, penghijauan, pemukiman, olahraga, dan fasilitas lain, yang terencana dan ditata secara baik.

Contoh kota semacam ini bisa dilihat pada kota-kota mandiri yang dibangun pengembang swasta di sekitar Jakarta, salah satunya Lippo Karawaci.

Penduduk kota mandiri itu merasa hidup aman, nyaman, dan tertib karena kota terproteksi dari akses umum.

Untuk dapat masuk ke dalamnya sangat terseleksi sekali. Begitu juga sebuah ibukota, hendaknya bisa diproteksi dari segala kepentingan yang tidak tersangkut langsung dengan fungsinya.

Kota itu tidak terbuka bagi siapa yang datang sekadar mengadu nasib.

Pada zaman Gubernur Ali Sadikin, pertengahan tahun 70-an, sebenarnya Jakarta sudah pernah dinyatakan sebagai kota "tertutup" dengan memberlakukan razia KTP.

Warga pendatang yang tidak jelas pekerjaannya akan dipulangkan. Tapi kebijakan itu rupanya tidak berlanjut.

"Masalah yang mungkin akan timbul di kota yang baru itu adalah sistem tata nilainya. Apakah kota itu bisa dikembangkan dengan memperhitungkan persoalan sosial?" Yayat menyangsikan.

Masalahnya, kita selalu gagal dalam melakukan pencegahan dan penegakan aturan.

Contohnya kawasan Otorita Batam, di Kepulauan Riau, yang sudah diatur sedemikian rupa tapi tak jua luput dari permasalahan sosial, akibat tidak bisa mengendalikan masuknya penduduk ke pulau itu.

Untuk biaya pembangunan sebuah kota, pastilah sangat mahal. Jika diasumsikan satu juta orang yang pekerjaannya terkait dengan pemerintahan saja, Herdianto mengkalkulasi angka kasar paling tidak dibutuhkan Rp46 triliun (ini perkiraan biaya tahun 2008).

Tapi megaproyek skala nasional itu bukan tidak bermanfaat terhadap negeri ini, khususnya terhadap perkembangan ekonomi.

Perpindahan ibukota Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia, tahun 1960, adalah contoh sukses pemerataan pembangunan karena ibukota secara geografis berada di tengah-tengah negara.

Atau perpindahan ibukota Jepang, Kyoto ke Tokyo pada tahun 1816, yang disebut-sebut menandai awal kemajuan negeri Matahari Terbit itu.

Setidaknya dalam pandangan Paulus, perpindahan ibukota dapat menciptakan nukleus baru, sehingga tersedia alternatif kota lain selain Jakarta.

Secara bisnis mungkin saja kota itu tidak menarik, tapi memang sebaiknya sebuah ibukota tidak harus identik dengan pusat aktivitas bisnis yang ramai.

Kondisi ini mirip di negara-negara maju - ibukotanya bukan merupakan kota perdagangan dan bisnis terbesar. Misalnya New York dengan Washington, DC, atau Amsterdam dengan Den Haag.

Letak calon ibukota juga tidak harus dekat dengan pelabuhan, atau artinya bisa saja merupakan daerah pedalaman.

Asalkan infra-struktur cukup memadai, seperti jaringan transportasi darat dan udara serta adanya jaringan telekomunikasi.

Kota ini pun nantinya bisa dijadikan pengembangan hal-hal lain berskala nasional, seperti misalnya Putera Jaya yang merupakan pusat administrasi pemerintahan Malaysia sekaligus merupakan kawasan pengembangan teknologi informasi.

Pilihan ibukota pun bisa mengarah kepada pengembangan kota-kota menengah di Indonesia untuk dikembangkan menjadi pusat pemerintahan.

Misalnya di Palangkaraya, Subang, Sukabumi, atau Magelang. Tapi jika itu dilakukan tanpa konsensus nasional, menurut Yayat, nanti setiap daerah akan berebut untuk menjadi ibukota negara.

Sayangnya tidak semua daerah di Indonesia memiliki kondisi infrastruktur yang sama untuk menjadi sebuah ibukota negara.

Masalah paling mendasar, misalnya pemenuhan kebutuhan energi yang bisa jadi kendala serius.

"Listrik di luar Jawa ini kita tahu sendirilah kondisinya, begitu terbatas," tutur Yayat menunjuk kawasan di Kalimantan dan Sulawesi.

Faktor energi ini tak kalah penting, di samping masalah ketersediaan sarana dan prasarana lain yang masih minim, jika ingin menempatkannya di luar Pulau Jawa.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini