TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) menghukum Yayasan Supersemar milik mantan Presiden Soeharto untuk mengembalikan uang senilai Rp 4,4 triliun ke Indonesia.
Kasus berpangkal saat Soeharto membentuk Yayasan Supersemar pada 16 Mei 1974.
Saat itu Soeharto duduk sebagai ketua, dan posisi ketua ini bertahan sampai ia lengser pada 1998, bahkan berdasarkan akta notaris tertanggal 27 Desember 1999, Soeharto masih duduk sebagai ketua yayasan.
Dalam perjalanannya, Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dan memerintahkan 5 % dari 50 % laba bersih bank milik negara disetor ke Yayasan Supersemar. Dimana Ketua Yayasan Supersemar adalah dirinya sendiri.
Bermodal regulasi ini, kantong Yayasan Supersemar pun langsung membengkak. Sejak keluarnya PP 15/1976 itu hingga Soeharto lengser, Yayasan Supersemar mendapatkan dana USD 420 juta dan Rp 182 miliar.
Tapi siapa sangka, dana sebesar ini digunakan melenceng dari tujuan dibentuknya Yayasan Supersemar.
Berdasarkan Pasal 3 Ayat 2 Anggaran Dasar Yayasan Supersemar, yayasan bertugas membantu/membina para siswa/mahasiswa yang cukup cakap tetapi kesulitan tidak dapat melanjutkan pelajarannya karena kesulitan dalam pembiayaan.
Tujuan kedua yaitu yayasan melakukan kegiatan lain untuk kepentingan pendidikan.
Apa daya, dana yang terkumpulkan diselewengkan menjadi penyertaan modal ke perusahaan di lingkaran Cendana. Atas penyelewengan dana ini, negara Republik Indonesia lalu menggugat Soeharto usai ia lengser.
Namun tidak mudah bagi negara untuk menjerat Soeharto. Butuh waktu bertahun-tahun mengembalikan uang rakyat tersebut.
Diawali dengan menang gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada 27 Maret 2008. Gugatan ini dikuatkan ditingkat banding dan kasasi.
Putusan ini lalu dikuatkan di tingkat peninjauan kembali (PK). Atas kemenangan negara dan rakyat ini, PN Jaksel lalu mengundang Yayasan Supersemar untuk mau melaksanakan putusan itu.
Baca: Ketua MUI: Ijtima Ulama III Tidak Tepat
Perlawanan eksekusi itu kemudian ditolak MA. Tak diam, Yayasan Supersemar kembali melakukan perlawanan melawan Kejagung.
Pada 28 Agustus 2017, PN Jaksel tidak menerima gugatan tersebut. Yayasan Supersemar mengajukan banding.
Pada 21 Juni 2018, giliran Pengadilan Tinggi (PT) yang menolak perlawanan gugatan itu dan menguatkan putusan PT Jaksel. Yayasan Supersemar kembali tak terima dan mengajukan kasasi. Lalu apa kata MA?
"Tolak," tulis panitera MA dalam situsnya, Kamis (2/5/2019).
Perkara itu diadili oleh Nurul Elmiyah sebagai ketua majelis dengan anggota I Gusti Agung Sumanatha dan Pri Pambudi Teguh sebagai anggota majelis. Perkara nomor 955 K/PDT/2019 diketok pada 23 April 2019.
Di sisi lain, desakan eksekusi aset-aset Yayasan Supersemar terus berlanjut. Sebab, hingga saat ini, Kejagung belum melakukan eksekusi total terhadap seluruh aset Yayasan Supersemar itu.
Seperti yang dilakukan massa dari Komite Penyelamat Asset Negara berdemo di Gedung Granadi, Jakarta Selatan pada Senin, 17 Desember 2018 lalu. Massa dalam orasinya menuntut agar aset Yayasan Supersemar tersebut segera disita negara.
Massa tiba di Gedung Granadi, Jalan HR Rasuna Said menggunakan sejumlah bus. Massa datang membawa bendera Merah Putih dan spanduk besar bertuliskan 'sita aset orba dan kroni-kroninya'. Di depan pagar Gedung Granadi juga terparkir mobil komando.