TRIBUNNEWS.COM - Seni cukil kayu yang melukiskan wajah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat itu merupakan buah karya Joris Johannes Christiaan Lebeau, seniman Belanda.
Chris menyelesaikan karyanya pada 23 Mei 1919. Sekarang, karya seni ini menjadi koleksi KITLV dengan tajuk Houtsnede met portret van de Javaanse schrijver Soewardi (ukiran kayu dengan potret penulis Jawa, Soewardi).
Pada usia 40 tahun Soewardi berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara, yang menurutnya lebih merakyat.
Setiap 2 Mei, yang merupakan hari lahirnya, seluruh siswa-siswa sekolah di penjuru Indonesia menggelar upacara Hari Pendidikan Nasional.
Lelaki ningrat asal Yogyakarta itu memang tidak lulus pendidikan dokter Jawa di STOVIA.
Dia juga dikenang sebagai seorang jurnalis, pegiat politik, dan pendidik.
Karier dalam dunia pers dimulai sejak menjadi kontributor untuk beberapa surat kabar di Jawa.
Dia mendirikan organisasi pertama yang bertujuan untuk kemerdekaan Indonesia, Nationale Indische Partij pada 1912.
Setahun kemudian, akibat tulisannya yang mengkritik pemerintah kolonial, dia dibuang ke Belanda.
Selama di negeri itu dia justru mengikuti pendidikan keguruan.
Semenjak itu tumbuhlah visinya tentang pendidikan nasional yang mengkritik gaya pendidikan barat dan pondokan tradisional.
Cita-citanya mewujudkan pendidikan nasional yang berakar pada budaya Indonesia.
Atas dasar itulah dia mendirikan National Onderwijs Istituut Tamansiswa pada 1922.
Pada masa pendudukan Jepang, tahun 1943, Ki Hajar ditunjuk untuk menjadi salah satu pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) bersama Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Pada akhir 1945, dia diangkat menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dalam kabinet pertama Republik Indonesia.
Pada 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) dari universitas negeri yang tertua di Indonesia, Universitas Gadjah Mada.
Banyak daerah yang memuliakan sosok Ki Hajar Dewantara.
Setidaknya, terdapat 108 ruas jalan di negeri ini yang mengabadikan namanya, dari Aceh hingga Papua.
Dia pernah bekerja di redaksi surat kabar De Expres dan Kaoem Moeda di Bandung, dan pernah mendirikan surat kabar Persatoean Hindia di Semarang.
Namun, hari ini kita tidak menjumpai toponimi jalan yang mengenang namanya di kedua kota itu.
Bahkan, warga di kota kelahirannya, Yogyakarta, pun tidak mengenangnya dalam seruas jalan.
Ruas "Jalan Ki Hajar Dewantara" paling barat di Indonesia berada di Kabupaten Aceh Tengah, sementara ruas jalan paling timur berada di Kabupaten Mimika.
Kabupaten Kepulauan Sangihe memiliki ruas "Jalan Ki Hajar Dewantara" paling utara yang mengenang namanya.
Kabupaten Timor Tengah Selatan memiliki ruas jalan paling selatan di Indonesia yang menggunakan namanya.
Jalan menurut tingkat kewenangannya terdiri atas jalan negara, jalan provinsi, dan jalan kabupaten/kota.
Sebagian besar “Jalan Ki Hajar Dewantara” berada di jalan provinsi dan jalan kabupaten/kota, alih-alih jalan negara.
Dari 47.017 kilometer jalan negara, hanya terdapat dua ruas Jalan Ki Hajar Dewantara, yakni 0,89 kilometer di Kota Solok dan 1,20 kilometer di Kota Atambua.
Setiap kota di Indonesia tidak selalu mengenang namanya dalam seruas jalan.
Kendati demikian, setiap kota sepantasnya mengenang dan merenungkan kembali perkataan Ki Hajar Dewantara, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” (*)
Artikel ini telah tayang di Nationalgeographic.grid.id dengan judul Seberapa Banyak Jalan Ki Hajar Dewantara di Indonesia?