TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyidik dinilai sudah bekerja secara profesional ketika menetapkan Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Bachtiar Nasir sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Secara formil, penyidik dinilai sudah memiliki setidaknya dua alat bukti permulaan cukup.
"Saya meyakini itu. Tanpa itu, saya kira penyidik tidak akan berani menetapkan seseorang (Bachtiar) sebagai tersangka. Secara formil saya yakin penyidik punya alat bukti," kata pengamat hukum Refly Harun saat dihubungi di Jakarta, Kamis (9/5/2019).
Kepolisian RI telah menetapkan Bachtiar Nasir sebagai tersangka TPPU dengan tindak pidana asal pengalihan aset Yayasan Keadilan untuk Semua.
Adapun bukti permulaan yang dimiliki kepolisian antara lain keterangan Ketua Yayasan Keadilan untuk Semua, Adnin Arman.
Juga keterangan pegawai BNI Syariah, Islahudin Akbar.
Alat bukti lainnya adalah rekening yayasan yang telah diaudit.
Bachtiar disebut mencairkan uang sebesar Rp 1 miliar dari rekening yayasan dan menggunakannya untuk keperluan lain.
Dana umat dan dana masyarakat itu diperuntukkan untuk kegiatan lain bukan untuk bantuan.
Berdasarkan fakta itu, Refly berharap, penyidik profesional dalam memproses kasus Bachtiar Nasir.
Refly mengingatkan agar penyidik tidak main-main dalam menegakkan hukum. Penegakan hukum tidak boleh pandang bulu.
"Saya kira penegak hukum juga perlu mengusut kasus yang memberi pengaruh luas terhadap masyarakat," kata Refly.
Refly juga memberikan pendapatnya atas pernyataan calon presiden Prabowo Subianto yang menuding penetapan Bachtiar Nasir sebagai bentuk kriminalisasi terhadap ulama.
Dikatakannya, kriminalisasi itu berarti kasus kriminalnya tidak ada tapi dibuat ada.
"Saya kira sepanjang penyidik bisa membuktikannya, itu bukan kriminalisasi. Itu sebabnya, penyidik tidak boleh main-main. Harus profesional menegakkan hukum," kata Refly.