Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Sunggul Hamonangan Sirait, advokat menguji materi Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu soal syarat pemenangan di pemilihan presiden (Pilpres). Perkara teregistrasi Nomor 36/PUU-XVII/2019.
Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu yang menyebutkan, “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.”
Baca: Dipimpin Megawati, BPIP Temui Jokowi di Istana Laporkan Hasil Kerja
Pemohon menyebut UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6A angka 3 dan Pasal 6A angka 4 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Pasal 6A angka 3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berbunyi, “Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.”
Baca: Musisi Ahmad Dhani Singgung Nama Wiranto Sebelum Sidangnya Berlangsung di PN Surabaya
Kemudian, Pasal 6A angka 4 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berbunyi, “Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.”
Pemohon mendalilkan original intent Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 dari pembentuk UUD 1945, dalam hal ini, Panitia Ad Hoc TAP I MPR, ketika membahas materi sistem pemilu presiden dan wakil presiden dalam proses perubahan UUD 1945 membahas angka minimal 50% + 1 dalam penentuan pasangan yang menjadi pemenang.
Namun setelah ditelusuri di risalah perubahan dapat dilihat pembentuk perubahan UUD 1945 juga memikirkan masalah penyebaran penduduk yang tidak merata di Pulau Jawa dengan di luar Pulau Jawa, di antaranya komposisi penduduk baik dari sebarannya, letak geografis maupun suku bangsa yang terdapat di Indonesia.
“Ketentuan norma yang terdapat dalam Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 disadur langsung dan tanpa perubahan oleh pembuat Undang-Undang ke dalam Pasal 416 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017,” jelas Sunggul, seperti dilansir laman MK, Kamis (9/5/2019).
Menurut dia, apabila dikaitkan dengan konstruksi hukum Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945, Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 sepanjang terkait dengan jumlah pasangan calon maka harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945.
Hal ini berarti jumlah pasangan yang dimaksud Pasal 6A ayat (3) dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 adalah lebih dari 2 (dua) pasangan calon.
"Demikian pula konstruksi hukum pada Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu harus dimaknai sepanjang terkait dengan jumlah pasangan calon maka harus dikaitkan dengan konstruksi Pasal 416 ayat (2) UU Pemilu, yaitu peserta pemilihan umum presiden dan wakil presiden harus lebih dari 2 (dua) pasangan calon," kata dia.
Sementara itu, menanggapi dalil-dalil pemohon itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mencermati soal legal standing. Menurut dia, pemohon belum memperlihatkan secara jelas mengenai legal standing.
“Mengenai legal standing ini, saudara belum memperlihatkan secara jelas, saudara sudah mengutip apa syarat kerugian hak konstitusional menurut putusan Mahkamah Konstitusi. Tapi di sini tidak ada penjelasan berikut, maka tadi saya suruh baca. Hak konstitusional apa yang saudara anggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang ini? Itu kan, belum ada penjelasannya,” urai Palguna.
Padahal menurut putusan MK sudah jelas, kata dia, hak itu harus disebutkan secara spesifik, harus ada hubungan kausal antara kerugian yang pemohon anggap itu dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian, dan seterusnya.
Baca: Dicabut Hak Politiknya di Kasus Suap Proyek Meikarta, Ini Pernyataan Terbaru Bupati Nonaktif Neneng
"Kalau dikabulkan, maka kerugian itu tidak akan atau tidak lagi terjadi. Kan itu sudah ada. Ini kan belum ada uraian Saudara? Saudara cuma mengutip putusannya, tapi kemudian uraian berikutnya lalu tidak tampak apa yang menjadi substansi dari persyaratan yang ditentukan dalam putusan Mahkamah Konstitusi itu. Itu mohon nanti diperbaiki,” saran Palguna.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyoroti posita pemohon.
“Di posita, Saudara mengatakan bahwa Pasal 416 angka 1 Undang-Undang Pemilu menimbulkan ketidakpastian makna, ketidakpastian tafsir serta kabur target penerapannya. Apa ini yang dimaksud? Coba dijelaskan di halaman 7 itu. Saudara mengatakan bahwa dengan memahami konstruksi hukum yang dibangun dalam ketentuan Pasal 416 angka 1 undang-undang ini menimbulkan ketidakpastian makna, tafsir serta kabur target penerapannya. Apa yang dimaksud ini? Kaburnya di mana?” tanya Arief Hidayat.