Tidak terlalu lama, partai ini menjadi sangat popular di kalangan pribumi Indonesia. Anggotanya juga mencapai lima ribu orang.
Sayangnya pada 1913, Indische Partij dibubarkan oleh pemerintah Belanda. Tidak hanya dibubdarkan, ketiga pendirinya yang tidak lain adalah tiga serangkai Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat, dan dr. Cipto Mangunkusumo akhirnya diasingkan.
Masih dari biografiku.com, Douwes Dekker diasingkan di Eropa. Selama di sana, ia tinggal Bersama keluarganya.
Ia melanjutkan pendidikannya dengan mengambil program doktor bidang ekonomi di Universitas Zurich, Swiss. Di sana, ia terlibat konspirasi dengan kaum revolusi India hingga membuatnya ditangkap dan diadili di Hongkong.
Pada 1918, ia juga sempat ditahan di Singapura selama dua tahun. Baru setelah itu ia pulang ke Indonesia.
Di Indonesia, di samping aktif kembali di dunia jurnalistik, Douwes Dekker juga membuat pratai baru bernama national Indische Partij, namun tidak mendapat izin dari pemerintah Belanda.
Pada 1919, ia dituduh terlibat dalam preistiwa kerusuhan petani perkebunan tembakau di Polanharjo, Klaten. Namun tuduhan itu tidak dapat dibuktikan.
Meski lolos dari tuduhan pertama, tuduhan lain kembali dilayangkan kepadanya. Ia dituduh membuat tulisan yang memuat hasutan dan melindungi redaktur surat kabar yang menulis komentar tajam terhadap pemerintah kolonial. Beruntung, tuduhan itu lagi-lagi tidak dapat dibuktikan.
Karena banyaknya tuduhan yang dilayangkan kepadanya, Douwes Dekker kemudian meninggalkan dunia jurnalistik. Ia beralih menulis buku-buku semi ilmiah. Salah satu bukunya yang paling fenomenal adalah Max Havelaar yang sampai saat ini masih banyak dijumpai di toko-toko buku.
Sahabatnya, yaitu Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara juga memberikan masukan supaya ia terjun ke dunia Pendidikan dan mendirikan Ksatrian Instituut di Bandung.
Dalam menjalankan sekolah ini, Douwes Dekker dibantu oleh seorang guru bernama Johanna Petronella Mossel, yang kemudian menjadi istrinya.
Pelajaran yang kebanyakan berisi tentang sejarah Indonesia dan dunia itu dinilai oleh pemerintah Belanda anti kolonial dan condong pada Jepang.
Akibatnya, pada 1933 buku-buku karya Douwes Dekker banyak dirampas dan dibakar oleh pemerintah kolonial Belanda.
Tidak hanya bukunya yang dirampas, Douwes Dekker juga dilarang mengajar, bahkan hingga memasuki masa penjajahan Jepang ia tetap dilarang mengajar.