Douwes Dekker kemudian bekerja di Kantor Dagang Jepang di Jakarta. Di tempat itu ia bertemu dengan Mohammad Husni Thamrin.
Tahun 1941, Douwes Dekker kembali dibuang ke Suriname. Saat itu Jerman tengah melakukan serangan ke Eropa yang membuat banyak orang-orang Eropa ditangkap, termasuk Douwes Dekker.
Pasca perang dunia II, pada 1946, Douwes Dekker dikirim ke Belanda, kemudian pada 2 Januari 1947 ia kembali ke Indonesia ditemani seorang perawat, Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel yang kemudian ia nikahi.
Pasca kemerdekaan, Douwes Dekker sempat mengisi posisi penting di dalam pemerintahan. Di Kabinet Sjahrir III, ia sempat menjadi salah satu menteri, meski hanya berlangsung selama sembilan bulan.
Douwes Dekker pernah juga menjadi negosiator dengan Belanda dan pengajar di Akademi Ilmu Politik, serta menjadi Kepala Seksi Penulisan Sejarah di bawah Kementerian Penerangan.
Douwes Dekker kembali ditangkap oleh Belanda ketika terjadi agresi militer Belanda terhadap Indonesia. Ia dibawa ke Jakarta untuk diinterogasi.
Namun karena usia yang sudah tua dan ia berjanji untuk tidak terjun ke dunia politik lagi, akhirnya ia dibebaskan dan kemudian tinggal di wilayah Lembangweg, Bandung.
Baca: TRIBUNNEWSWIKI : Mohammad Mahfud MD
Di Bandung, ia melanjutkan lagi kariernya di dunia pendidikan di bawah Ksatrian Instituut yang pernah ia dirikan.
Di sana, ia banyak menghabiskan waktunya untuk menyusun autobiografinya dan merevisi buku-buku sejarah yang pernah ia tulis.
Karena usia yang sudah semakin tua, Douwes Dekker akhirnya menghembuskan napas terakhir pada 28 Agustus 1950. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.
Namanya diabadikan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Soekarno pada 9 November 1961 melalui Keppres No. 590 tahun 1961.
Keluarga :
Ayah : Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker
Ibu : Louisa Neumann
Istri : Clara Charlotte Deije, Johanna P. Mossel, Djafar Kartodiewdjo, dan Haroemi Wanasita alias Nelly Kruymel.
Anak : Koesworo Setia Buddhi
(TribunnewsWIKI/Widi)