Hal tersebut dianggap bukan wewenang KPK karena pasal 11 UU KPK menyatakan KPK berwenang memroses perkara korupsi jika melibatkan penegak hukum, penyelenggara negafa dan kaitan korupsi yang melibatkan penegak hukum atau penyelenggara negara; mendapat perhatian atau meresahkan masyarakat; dan menyangkut kerugian negara minimal Rp 1 miliar.
Perbuatan Romy dianggap tidak menimbulkan kerugian negara dan tidak ada hubungan penyalahgunaan kekuasaan.
Kemudian, KPK dianggap tidak berwenang melakukan operasi tangkap tangan dengan mengacu kepada pasal 18 ayat 2 KUHAP menyatakan penangkapan harus disertai barang bukti yang diserahkan kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat.
Mereka menilai penyidik sudah menguasai barang sitaan penyelidik padahal secara hukum KPK seharusnya menyerahkan Romy ke penyidik atau penyidik pembantu terdekat.
"Menyatakan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh termohon terhadap pemohon terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi yaitu penerimaan hadiah atau janji terkait seleksi jabatan pada Kementerian Agama RI tahun 2018-2019, adalah premature atau belum waktu/saatnya," tutur Maqdir.
Terakhir, tim kuasa hukum melihat Romy sudah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan sprindik per 16 Maret 2109 tanpa ada pengumpulan bukti sesuai pasal 1 dan pasal 2 KUHAP.
Kemudian, KPK juga dinilai tidak membuka ruang bagi Romy untuk melaporkan penerimaan kepada KPK demi memenuhi ketentuan pasal 12B UU Tipikor dan justru langsung menyatakanny sebagai tersangka.
Tim kuasa hukum melihat penetapan Romy sebagai tersangka tidak berdasarkan hukum karena dua alat bukti yang sah sebagaimana pasal 183 jo pasal 184 KUHAP jo pasal 44 ayat 1 dan ayat 2 UU 30 tahun 2002 tentang KPK tidak ditemukan proses penyidikan sesuai sprindik nomor Sprin.Dik/18/DIK.00/01/03/ 2019).