TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, menuding pemerintah menggunakan pasal makar secara sembarangan.
"Yang dilakukan pemerintah mengkaretkan (pasal makar,-red). Itu karena tidak lagi berpijak pada Aanslag atau serangan," kata Asfinawati, Selasa (14/5/2019).
Dia menjelaskan, Pasal 104 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diterjemahkan sebagai "makar" dalam bahasa Belanda tertulis "aanslag".
Menurut dia, "aanslag" berarti serangan. Artinya, kata dia, apabila tidak ada serangan atau percobaan serangan maka belum dapat dikatakan makar.
"Makar itu di kitab undang-undang aslinya Belanda itu aanslag artinya serangan. Jadi dikatakan makar kalau ada serangan atau percobaan serangan. Kalau tidak ada upaya-upaya melakukan serangan, mencoba melakukan serangan tidak makar namanya," kata dia.
Dia menegaskan, konstitusi menjamin hak kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul dan beragama-berkeyakinan. Indonesia telah pula menjadikan Kovenan Hak Sipil dan Politik menjadi hukum Indonesia melalui UU 12 Tahun 2005.
Namun, dalam pembahasan RKUHP pemerintah malah memasukkan atau setuju pasal makarn penghinaan presiden dan penodaan agama dalam RKUHP.
Baca: Polisi: Eggi Sudjana Sempat Menolak Diperiksa Penyidik, Alasannya Ini
"Pasal makar bermasalah, karena dirumuskan berbeda dengan maksud sebenarnya. Sedangkan, penghinaan terhadap presiden telah dinyatakan tidak mengikat oleh MK kecuali menjadi delik aduan," kata dia.
Artinya, kata dia, kepolisian tidak dapat langsung memproses penghinaan terhadap presiden kecuali presiden membuat laporan ke kepolisian.
Lebih dari itu seorang pejabat publik memang seharusnya bisa menjadi subjek kritik publik. "Penodaan agama bermasalah, karena menyasar kebebasan beragama berkeyakinan kelompok non mainstream ataupun minoritas keagamaan serta tidak ada definisi apa yang dimaksud penodaan agama," tambahnya.