Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo.
Pemeriksaan dilakukan guna mendalami anggaran Pengadaan Paket Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional (KTP Elektronik atau e-KTP).
Mantan Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu diperiksa sebagai saksi untuk mantan Anggota DPR Markus Nari.
Baca: Penjelasan Fadli Zon Tentang Perbedaan Sikap BPN terhadap Hasil Pilpres dan Pileg
"Penyidik mendalami keterangan saksi terkait anggaran pengadaan Paket Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan ketika saksi menjadi menteri keuangan RI," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Jumat (17/5/2019).
Usai diperiksa KPK, Agus Martowardojo menjelaskan soal penganggaran dan kontrak multi years kepada pihak penyidik KPK.
Baca: Ini Penjelasan KPU Soal Skema Penetapan Capres-Cawapres Terpilih
Agus Martowardojo mengatakan perencana dan pelaksana anggaran berada pada pihak Kementerian teknis dalam hal ini adalah Kementerian Dalam Negeri.
"Jadi ini juga disampaikan bahwa di dalam UU itu jelas bahwa secara formal, secara materiil itu tanggung jawab Anggaran ada di kementerian teknis dalam ini di kementerian dalam negeri. Bahwa kemudian Kementerian dalam negeri membahasnya anggarannya dengan DPR itu juga adalah proses anggaran," ucap Agus.
Pihak kementerian keuangan, kata Agus Martowardojo bertindak sebagai pengelola fiskal dan bendahara umum negara.
Sedangkan, menurutnya, kementerian teknis dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri bertindak sebagai pengguna anggaran.
Baca: Dituding Kembali ke Orde Baru Bentuk Tim Asistensi Hukum, Wiranto: Saya Cuek Dikatakan Apa Saja
"Kalau sebagai pengguna anggaran, menteri adalah harus yg merencanakan, melaksanakan tanggung jawab atas anggaran. Tanggung jawab daripada Kementerian teknis ada di perencanaan, pelaksana dan pertanggung jawaban," kata Agus.
Markus Nari ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP sejak Juli 2017. Markus diduga memperkaya diri sendiri atau orang lain dalam pengadaan paket e-KTP tahun 2011-2013. Kasus ini merugikan keuangan negara Rp 2,3 triliun dari total anggaran Rp 5,9 triliun.
Markus diduga berperan memuluskan pembahasan dan penambahan anggaran proyek e-KTP di DPR.
Berdasarkan fakta persidangan, Markus bersama sejumlah pihak lain meminta uang kepada Irman sebanyak Rp 5 miliar pada 2012.