"Tidak ada pernyataan diperpanjang 10 hari, justru saya berharap situasi segera pulih sehingga fitur video dan gambar dari media sosial, instant messaging serta video file sharing bisa segera difungsikan," kata Rudiantara.
Rudiantara menyatakan pemulihan akses media sosial saat ini masih menunggu suasana kondusif.
Kepastian situasi kondusif ini baru dapat diketahui setelah mendapat informasi dari aparat keamanan.
"Tunggu suasana kondusif atau tidak, tentu itu tunggu masukan dari pihak keamanan. Dari sisi intelijen, sisi Polri, sisi TNI, kalau sudah kondusif kita akan fungsikan kembali fitur-fitur karena saya sendiri merasakan dampak yang saya buat sendiri," ujar Rudiantara.
Menkopolhukam Wiranto sebelumnya menyebut pembatasan akses medsos akan dilakukan selama tiga hari sampai 25 Mei 2019.
Staf pengajar Departemen Filsafat Universitas Indonesia Donny Adian Gahral berpendapat, langkah tegas pemerintah tersebut sudah tepat karena kebebasan berpendapat dalam hak asasi manusia tidak mutlak.
"Kebebasan berpendapat yang menghasut, memecah belah, memanipulasi informasi bisa dibatasi apalagi saat situasi genting dimana keselamatan bangsa dan negara menjadi taruhannya," katanya.
Agar tercipta masyarakat yang sehat dan kritis, Donny mengajak pengguna medsos agar tidak mudah memforward informasi dari sumber yang meragukan.
"Agar tidak termakan dengan propaganda agitasi yang tidak masuk akal," katanya.
Sementara itu, pemerhati komunikasi Fetty Azizah menilai langkah pemerintah mengambil keputusan tegas tersebut layak diapresiasi.
Di mana, di negara demokrasi seperti Indonesia tanpa ketertiban hanya akan menghasilkan sikap anarki.
Fetty menegaskan bahwa konten hoax yang tidak berbasis fakta dapat menimbulkan instabilitas negara.
"Marak beredarnya video, foto, dan konten lain di sosmed pada kenyataannya tidak bisa dijamin oleh penyedia platform, seperti instagram, facebook, atau Whatsapp, dan lainnya," kata Fetty.
Fetty mencontohkan di beberapa negara maju seperti Jerman dan Singapura sudah mengatur penggunaan sosmed. Bagi pengguna yang melanggar peraturan akan dikenakan sanksi hukum.
"Negara harus membuat aturan yang membatasi konten sosmed semata-mata untuk menciptakan ketertiban (order) di sosmed. Jadi untuk alasan menjaga ketertiban umum, memang diperlukan pembatasan-pembatasan," ujarnya.
Fetty menegaskan bahwa demokrasi dan kebebasan berpendapat bukan berarti tanpa aturan.
"Demokrasi hanya bisa tegak bila ada rule of law yang menjadi rambu-rambu bagi masyarakat warga," ujarnya. (Tribun Network/nas/sen/wly)