TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Syamsuddin Radjab menjadi pembicara
dalam Focus Group Discussion bertajuk 'Lima konsensus Dasar Bernegara Sebagai Upaya Pemersatu Bangsa'.
Diskusi berlangsung di sekretariat Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Menteng, Jakarta Selatan, Sabtu (25/5/2019).
Di hadapan kader HMI dan aktivis pergerakan lainnya yang hadir dalam diskusi tersebut, Syamsuddin memaparkan tentang lika-liku
perjalanan sejarah Indonesia sebelum menjadi sebuah negara.
Baca: TKN Ingatkan Kubu Prabowo-Sandi Harus Bawa Bukti Valid ke Mahkamah Konstitusi
Indonesia menjadi sebuah negara tidak lepas dari spirit nasionalisme Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
"Ada empat konsensus dasar dalam berngera yang diputuskan dalam BPUPKI. Sebelum ada empat konsensus ada keragaman dari berbagai kolompok, ada entitas budaya, suku, agama dan bahasa. Entitas-entitas wilayah sudah berdaulat sebelum meng-Indonesia," kata Syamsuddin Radjab dalam keterangan yang diterima.
Baca: Kasubdit Provos Polda Sumut AKBP Triadi Terluka Kena Lemparan Kaca dari Massa
Menurut Syamsuddin, empat konsensus dalam bernegara tersebut diilhami spirit Sumpah Pemuda.
Dengan demikian, tidak tepat jika Sumpah Pemuda dimasukkan dalam konsensus dasar bernegara, sebagaimana yang diusulkan dan masih dikaji HMI dan KNPI.
"Argumentasi logicnya kalau sumpah pemuda dimasukkan dalam konsensus dasar bernegara saya kira kurang relevan. Karena penjelasan historisnya kita mendeclear menjadi negara Indonesia atau meng-Indonesia sejak 17 Agustus 1945. Sementara UUD 45 baru disahkan keesokan harinya, yakni 18 Agustus, baru kita resmi bernegara. Sebelum itu kebalakangnya kita belum bernegara," katanya.
Syamsuddin menambahkan untuk membalik cara berpikir jika kemudian Sumpah Pemuda "dipaksakan" tetap masuk pada konsensus dasar bernegara.
Baca: Jasa Marga Minta Maaf Soal Dampak Relokasi Gerbang Tol di Cikampek dan Cipularang
Menurutnya, tidak ada relevansinya jika Sumpah Pemuda dimasukkan dalam konsensus bernegara, baik secara yuridis maupun secara norma konstitusi, karena Sumpah Pemuda yang melahirkan spirit konsensus dasar bernegara itu sendiri.
"Karena argumentasi yuridisnya irisannya tidak ketemu. Jadi kita jangan terjebak pada 4 atau 5 konsensus bernegara. Saya malah ingin mengatakan menjadikan Sumpah Pemuda itu jadi spirit nasionalisme, karena itu fakta sejarah," kata Syamsuddin yang juga Direktur Eksekutif Jenggala Center ini.