TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Advokat senior Otto Hasibuan dan pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin batal menjadi kuasa hukum capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dalam pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menolak hasil Pilpres 2019.
Padahal nama keduanya sempat digadang-gadang bakal membela Prabowo-Sandi melawan keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) itu.
Pengamat sekaligus praktisi hukum, C Suhadi, menduga digantikannya Otto dan Irman dengan Bambang Widjojanto, Denny Indrayana dan enam orang lainnya lantaran bukti-bukti yang dimiliki kubu pasangan nomor urut 02 lemah.
"Kenapa OH (Otto Hasibuan) tidak menjadi ketua tim? Padahal di Peradi OH itu hampir sama kedudukannya dengan sesepuh Peradi dan orang harus tunduk sama beliau. Barangkali OH melihat dan atau mempunyai hal-hal yang janggal dalam kaitan data-data yang dimiliki oleh kubu pemohon atau Prabowo-Sandi," ujar Suhadi, ketika dihubungi, Senin (27/5/2019).
Apalagi, ia menuturkan Otto sempat menyebut skenario terburuk apabila dirinya mengadvokasi Prabowo-Sandi di MK adalah menghasilkan keputusan pemilu ulang.
Pernyataan ini, kata dia, menunjukkan rasa pesimisme dalam gugatan hasil Pilpres 2019.
"Kala itu (pernyataan Otto disampaikan) quick count sudah mengumumkan hasil Pilpres dan Jokowi-Ma'ruf Amin unggul di semua lembaga survei. Bercermin dari sudut keilmuan, OH pasti sudah tahu kalau hanya mengandalkan data C1 dan lainnya akan sulit memenangkan pertarungan di MK apalagi dengan sorotan media," ucapnya.
Baca: BPN Minta Pendukungnya yang Punya Bukti Kecurangan Pemilu Menyerahkannya ke Tim Hukum
Ia juga meyakini pembuktian adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif dari keunggulan 16 juta suara pasangan Jokowi-Ma'ruf, amatlah susah.
Terlebih Suhadi menilai KPU dan Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf memiliki data C1 yang valid.
"Bukan lagi menjadi rahasia umum, C1 bisa dibuat di luar KPU, dan infonya bisa dipesan di (sekitar Pasar) Pramuka. Apalagi pernah ada berita ditemukan ribuan formulir C1, diduga bukan dari penyelenggara pemilu. Maka untuk itu tugas lawyer (kuasa hukum) bukan hanya menjadi pemerhati di legal formalnya perkara yang akan bergulir, tapi juga harus melototin alat bukti ( C1 ) yang akan dihadirkan pada masing-masing pihak yang bersengketa," jelasnya.
Selain itu, ada berbagai kontradiksi yang terjadi dalam permasalahan gugatan sengketa tersebut.
Pertama, Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu RI) membantah adanya intimidasi dan kecurangan, yang artinya bertolak belakang dengan alasan gugatan dilayangkan kubu Prabowo-Sandi.
Kedua, Suhadi menyebut tim hukum Prabowo-Sandi mengajukan permohonan agar Jokowi-Ma'ruf didiskualifikasi, sehingga MK harus memutuskan kubu mantan Danjen Kopassus memenangi Pilpres. Namun, di tuntutan lainnya, kubu 02 meminta agar MK menyelenggarakan pemilu ulang.
"Jadi para lawyer yang garang-garang di TV ini galau dengan argumentasinya sendiri. Karena menjadi hal yang berbeda antara kata pemenang dengan diulang," tegasnya.
"Pemenang di sini artinya bersifat final, Pilpres selesai di putusan MK, tapi kalau bersayap dengan memerintahkan perkara minta diulang, artinya paslon 02 belum menang. Hancur," tandas Suhadi.