Menurutnya, tidak baik setiap kelompok merasa paling memiliki kewajiban menjaga negeri sebab menjaga Indonesia adalah kewajiban bersama bukan oleh lembaga tertentu.
Ia menegaskan lagi bahwa saat ini yang harus diperjuangkan oleh seluruh rakyat Indonesia adalah persatuan dan kesatuan, bukan perpecahan dan kehancuran. Karena jika terjadi perpecahan antar bangsa maka kerugian jelas kembali ke rakyat sendiri.
“Jalur-jalur hukum kita harus hormati. Bulan Oktober adalah pelantikan Presiden siapapun yang dilantik adalah yang dinyatakan menang oleh MK. Siapapun yang jadi kita hormati karena itu konstitusi dan kita ini negara hukum negara konstitusi,” tuturnya.
Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Bina Suhendra, menyampaikan bahwa perubahan akan selalu terjadi seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi.
Ia mengingatkan bahwa kita harus siap menghadapi perubahan, jika tidak yang akan terjadi adalah kita akan melawan perubahan itu.
"Saat ini bangsa dan negara kita sedang menjalani perubahan, seiring dengan perkembangan teknologi. Kemudian ada hoax dan ujaran kebencian sebagai efek negatif perubahan yang menggunakan kemajuan teknologi informasi. Kita harus bisa mengatasi hoax jika ingin maju," pungkasnya.
Sekretaris Eksekutif PGI, Pdt. Jimmy Sormin mengatakan bahwa unsur identitas politik menguat sejak beberapa perhelatan pilkada.
"Identitas politik ini tumbuh dan menguat di Pilkada DKI 2017, kemudian di Pilkada serentak 2018, dan akhirnya puncaknya di Pemilu 2019. Di berbagai daerah kita mendengar deklarasi dukungan politik berdasarkan etnis ataupun agama. Hal seperti ini yang membuat bangsa kita semakin terkotak-kotak," ujarnya.
Pendiri Rumah Milenial, Sahat Martin Philip Sinurat mengharapkan para tokoh bangsa, elite politik, dan tokoh agama dapat memberikan teladan bagaimana menyikapi hasil Pemilu secara dewasa.
"Generasi milenial pastinya memperhatikan bagaimana ucapan dan sikap dari para tokoh masyarakat, elit politik, dan tokoh agama. Ajarkanlah kepada kami bagaimana kita seharusnya merajut persaudaraan, bukannya permusuhan pasca pelaksanaan Pemilu ini," ujarnya.
Sahat menyayangkan adanya beberapa pihak yang pasca Pemilu ini kemudian meminta dilakukannya referendum untuk memisahkan diri dari Indonesia.
"Tidak pada Pemilu kali ini saja kita mengalami perbedaan politik. Kita dulu pernah mengalami gejolak politik yang lebih besar, bahkan pemerintah saat itu membubarkan beberapa partai politik. Namun tidak ada satupun tokoh bangsa dan elit politik saat itu yang berpikir untuk memecahkan dan membubarkan negara kita," ungkap dia.
"Janganlah karena perbedaan politik sesaat, kita kemudian tega memecah-belah persatuan bangsa dan negara kita," pungkas mantan Ketua Umum GMKI ini.
Demokrasi dan Referendum