TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat diminta jangan percaya dan terprovokasi dengan informasi hoax dan propaganda yang beredar pasca Pemilu 2019.
Publik harus berupaya merajut kembali persaudaraan dan kolaborasi untuk menjaga perdamaian Indonesia.
Hal ini menjadi salah satu kesimpulan pada kegiatan Silaturahmi dan Dialog Kebangsaan yang diadakan oleh Rumah Milenial, Lembaga Kajian Strategi Bangsa (LKSB), Keluarga Besar Putra Putri Polri (KBPPP), dan Himpunan Putra Putri Angkatan Darat (HIPAKAD) di Gedung PBNU Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (29/5/2019).
Selain itu, forum silaturahmi mengapresiasi kinerja aparat keamanan yang berusaha maksimal menjaga kondusifitas dan keamanan masyarakat pasca perhelatan Pemilu.
Baca: Sejumlah Kalangan Sebut Purnawirawan TNI Tunggangi Aksi 22 Mei
Mereka juga mendesak aparat hukum untuk segera mengusut pelaku kerusuhan 21-22 Mei.
Termasuk dalang dan pendana di belakangnya karena telah menelan banyak korban jiwa dan luka.
Dalam dialog ini, Ketua Umum Keluarga Besar Putra Putri Polri (KBPPP) Bimo Suryono mengajak seluruh masyarakat untuk berpikir lebih jernih dan dewasa menyikapi dinamika yang terjadi pasca pemilu 2019.
Menurutnya, semua elemen bangsa berjasa atas terselenggaranya Pemilu yang aman dan tertib termasuk aparat kepolisian dan TNI.
Ia mengkritisi sikap sejumlah ormas yang melakukan berbagai aktivitas yang berpotensi memecah persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia. Aksi yang dilakukan pada 22 Mei lalu, kata Bimo, seharusnya tidak sampai ricuh yang mengakibatkan beberapa massa berjatuhan termasuk aksi kerusakan di berbagai tempat.
"Bulan Ramadhan ini penuh maghfirah (ampunan) bulan penuh pengampunan jangan menciptakan golongan atau kelompok yang berpotensi menjurus kepada perseteruan. Namun saya optimis Indonesia akan tetap utuh dan kuat selama kelompok masyarakat seperti NU-Muhammadiyah, PGI, dan lembaga agama lainnya, Polisi dan TNI serta pemerintah bekerjasama dalam membangun Indonesia kearah yang lebih baik," kata Bimo.
Menurut Bimo, demo memang diperbolehkan tapi UU tidak memperkenankan unjuk rasa sampai tengah malam.
"Polisi justru mengulur waktu memberikan kesempatan untuk berbuka shalat dan tarawih. Namun setelah itu justru kericuhan terjadi dan massa menyerang polisi. Polisi itu sudah mempertaruhkan hidupnya loh, anak istri mereka tinggalkan 24 jam untuk keamanan bangsa ini," tuturnya.
Hadir pada kegiatan tersebut Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), H Bina Suhendra, Lembaga Kajian Strategi Bangsa (LKSB), Abdul Ghopur, Pendiri Rumah Milenial, Sahat Martin Philip Sinurat, Ketua Umum Himpunan Putra Putri Angkatan Darat (HIPAKAD), Hariara Tambunan, Sekretaris Eksekutif PGI, Pdt. Jimmy Sormin, dan puluhan peserta dari berbagai kalangan.
Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Putra Putri Angkatan Darat (Hipakad), Hariara Tambunan, menuturkan sudah saatnya semua elemen bangsa bersatu dengan tidak saling menjatuhkan.
Menurutnya, tidak baik setiap kelompok merasa paling memiliki kewajiban menjaga negeri sebab menjaga Indonesia adalah kewajiban bersama bukan oleh lembaga tertentu.
Ia menegaskan lagi bahwa saat ini yang harus diperjuangkan oleh seluruh rakyat Indonesia adalah persatuan dan kesatuan, bukan perpecahan dan kehancuran. Karena jika terjadi perpecahan antar bangsa maka kerugian jelas kembali ke rakyat sendiri.
“Jalur-jalur hukum kita harus hormati. Bulan Oktober adalah pelantikan Presiden siapapun yang dilantik adalah yang dinyatakan menang oleh MK. Siapapun yang jadi kita hormati karena itu konstitusi dan kita ini negara hukum negara konstitusi,” tuturnya.
Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Bina Suhendra, menyampaikan bahwa perubahan akan selalu terjadi seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi.
Ia mengingatkan bahwa kita harus siap menghadapi perubahan, jika tidak yang akan terjadi adalah kita akan melawan perubahan itu.
"Saat ini bangsa dan negara kita sedang menjalani perubahan, seiring dengan perkembangan teknologi. Kemudian ada hoax dan ujaran kebencian sebagai efek negatif perubahan yang menggunakan kemajuan teknologi informasi. Kita harus bisa mengatasi hoax jika ingin maju," pungkasnya.
Sekretaris Eksekutif PGI, Pdt. Jimmy Sormin mengatakan bahwa unsur identitas politik menguat sejak beberapa perhelatan pilkada.
"Identitas politik ini tumbuh dan menguat di Pilkada DKI 2017, kemudian di Pilkada serentak 2018, dan akhirnya puncaknya di Pemilu 2019. Di berbagai daerah kita mendengar deklarasi dukungan politik berdasarkan etnis ataupun agama. Hal seperti ini yang membuat bangsa kita semakin terkotak-kotak," ujarnya.
Pendiri Rumah Milenial, Sahat Martin Philip Sinurat mengharapkan para tokoh bangsa, elite politik, dan tokoh agama dapat memberikan teladan bagaimana menyikapi hasil Pemilu secara dewasa.
"Generasi milenial pastinya memperhatikan bagaimana ucapan dan sikap dari para tokoh masyarakat, elit politik, dan tokoh agama. Ajarkanlah kepada kami bagaimana kita seharusnya merajut persaudaraan, bukannya permusuhan pasca pelaksanaan Pemilu ini," ujarnya.
Sahat menyayangkan adanya beberapa pihak yang pasca Pemilu ini kemudian meminta dilakukannya referendum untuk memisahkan diri dari Indonesia.
"Tidak pada Pemilu kali ini saja kita mengalami perbedaan politik. Kita dulu pernah mengalami gejolak politik yang lebih besar, bahkan pemerintah saat itu membubarkan beberapa partai politik. Namun tidak ada satupun tokoh bangsa dan elit politik saat itu yang berpikir untuk memecahkan dan membubarkan negara kita," ungkap dia.
"Janganlah karena perbedaan politik sesaat, kita kemudian tega memecah-belah persatuan bangsa dan negara kita," pungkas mantan Ketua Umum GMKI ini.
Demokrasi dan Referendum
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategi Bangsa (LKSB), Abdul Ghopur mengatakan memahami demokrasi harus komprehensif agar dapat mengetahui hakikat dari demokrasi tersebut.
Menurutnya, demokrasi dalam arti lain bukanlah tujuan melainkan alat untuk mencapai tujuan yakni kemakmuran, kesejahteraan dan kedaulatan rakyat.
"Demokrasi bukanlah pemicu perpecahan antar bangsa, demokrasi adalah indikator bersatunya masyarakat untuk mewujudkan cita cita kemerdekaan Indonesia. Kuncinya, masyarakat harus menerima perbedaan pandangan dan legowo atas berbagai kebijakan yang telah disepakati atas nama bangsa Indonesia. Perbedaan adalah rahmat dan kita wajib mengelolanya dengan bijaksana," katanya.
Intelektual muda Nahdlatul Ulama ini juga menyikapi adanya permintaan referendum pasca perhelatan Pemilu 2019.
"Kemerdekaan Indonesia adalah hasil ijtima para ulama. Ini sangat penting bahwa kemerdekaan dan persatuan Indonesia juga didukung para ulama. Mari kita jaga bersama persatuan dan perdamaian Indonesia," ujarnya.