TRIBUNNEWS.COM, BEKASI - Lantunan takbir terus berkumandang, warga Kampung Sawah, Bekasi berbondong-bondong menuju Masjid Agung Jauhar Yasfi yang terletak di pinggir jalan raya Kampung Sawah, Jatimurni, Bekasi, Rabu (5/6/2019) pagi.
Tidak hanya mereka yang muslim, warga beragama kristen dan menjadi jemaat di Gereja yang letaknya hanya 50 meter dari Masjid, juga turut hadir.
Baca: Bunga Anggrek di Pusara Ani Yudhoyono, SBY Jelaskan Maknanya
Bukan ikut melaksanakan ibadah, mereka menjaga dan mengatur lalu lintas di depan Masjid.
Salah satu diantara jemaat Gereja Katolik St. Servatius yang berada di depan Masjid, mengatakan hal itu sangat biasa ditemui ketika ada acara keagamaan.
"Ini sih biasa. Memang setiap ada acara keagamaan, kami begini. Kalau nanti ada acara di Gereja, saudara-saudara muslim yang bergantian berjaga," katanya.
Tribun mengikuti ibadah Salat Id di Masjid terbesar di Kampung Sawah itu.
Usai Salat, Tribun berkesempatan larut dalam suasana lebaran di rumah seorang tokoh masyarakat setempat yang juga Pimpinan Yayasan Pendidikan Fisabilillah (Yasfi), Rahmaddin Afif.
Pria yang akrab disapa Abah itu tidak segan memanggil Jemaat Gereja yang sebelumnya berada di depan Masjid untuk datang ke rumah yang ada di kawasan Masjid.
"Ayo sini, gabung-gabung," teriaknya.
Masuk ke dalam rumah yang masih tampak kental budaya Betawi itu, jemaat Gereja disambut dengan pelukan dari tuan rumah.
"Ayo-ayo makan-makan dulu," ajak Abah.
Seluruh makanan khas lebaran, seperti Opor Ayam, Ketupat, Rendang, dan Semur Daging tersedia di atas meja makan Abah.
Semua tamu yang datang ke rumah itu, diminta untuk menyantap makanan tersebut terlebih dahulu, kemudian diperkenankan untuk berbincang sejenak.
Tribun mewawancarai Abah usai tamu-tamunya satu persatu pamit meninggalkan rumah.
Abah mengatakan, nilai kejujuran sangat dirawat di Kampung Sawah.
Hal itu diucapkan olehnya ketika Tribun bertanya mengenai sikap yang toleran diantara berbagai agama di Kampung Sawah.
"Intinya, kejujuran. Kita harus jujur dengan diri kita sendiri dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan," ucapnya.
Dia mengaku, beberapa kali terjadi potensi pergesekan diantara masyarakat.
Tapi, ia yang juga ketua MUI Jatimurni, Bekasi, menjelaskan setiap ada potensi riak gesekan, masyarakat memiliki budaya "ngobrol bareng".
Sehingga, permasalahan dapat selesai secara baik.
Dalam kegiatan itu, seluruh tokoh agama dan pengurus rumah ibadah harus berbicara secara jujur, apa yang sedang terjadi.
Dengan kejujuran itu, solusi yang tepat dapat dihasilkan saat diskusi berlangsung.
"Asalkan semua pihak bisa jujur, apa yang menjadi kekurangan, Insya Allah akan mendapatkan solusi yang baik," jelasnya.
Seorang Jemaat Gereja St. Sevartius Kampung Sawah, Gunawan Napiun mengatakan, salah satu perekat masyarakat setempat, adalah dengan adanya nama Marga di Kampung Sawah.
Beberapa Marga yang ada di sana, yakni, Napiun, Penjol, Centeng, Tibin, Peking, Empi, Sabajan, Kuli, Modo, Yulianus, Seran, Daniel, Kopo, Emeng, Joyo Sasmito Ngapon dan beberapa lainnya.
Dalam satu marga yang sama, lanjut dia, bisa saja berbeda agama.
"Jadi, satu rumah ada dua agama itu biasa saja di sini. Saya juga masih kerabat sama Abah. Dia Encang (sebutan paman dalam bahasa Betawi) saya," ungkapnya.
Kerukunan dalam keberagamaan di Kampung Sawah mulai mendunia. Kata dia, dalam waktu dua tahun terakhir ini, terdapat wisatawan Mancanegara yang datang berkunjung ke pinggiran Jakarta itu.
"Sudah ada wisata toleransi di sini. Kemarin itu ada orang Rusia, Cina, Jerman datang ke sini untuk melihat kerukunan di sini," ucapnya.
Dia mengatakan, selama masyarakat mengedepankan kemanusiaan dalam kehidupan sosial, gesekan antaragama dapat diminimalisir.
Baca: Wasekjen Demokrat Puji Kaesang Pangarep, Ali Mochtar Ngabalin : Skenario Tuhan agar Indonesia Teduh
Terlebih, warga menganggap pendatang yang masuk ke lingkungan Kampung Sawah sudah menjadi saudara ketika meminum air di tanah itu.
"Apapun agamanya, kalau sudah minum air disini, ibaratnya begitu ya. Kami sudah anggap dia sebagai saudara," imbuhnya.