TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA-Perekonomian Indonesia yang sejatinya prospektif, harus memasuki dan menyikapi periode ketidakpastian global yang tereskalasi akibat potensi rusaknya sistem dan mekanisme perdagangan dunia, ekses dari perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan Cina dan juga Meksiko.
Tantangannya jelas bahwa Indonesia jangan sampai tidak berdaya karena perangkap ketidakpastian itu.
Maka, setelah selama belasan bulan perhatian masyarakat terfokus pada isu-isu politik seputar pemilihan presiden (Pilpres), sekarang adalah saatnya untuk melihat keluar, mengidentifikasi dan memahami tantangan riel apa saja yang harus disikapi dan disiasati bersama.
Ternyata, persoalan riel yang harus dihadapi saat ini juga adalah dampak perang dagang AS versus Cina. Kalau Indonesia tidak bersiasat dalam ketidakpastian itu, kinerja perekonomian akan memburuk.
Agar kinerja perekonomian nasional tetap positif, Pemerintah dan seluruh komponen pelaku bisnis harus mencari dan merumuskan inisiatif baru untuk meminimalisir dampak perang dagang dua raksasa eknomi itu.
Mau tak mau, skala persoalan politik dalam negeri, utamanya ekses sengketa Pilpres, harus segera direduksi ke level yang serba konstitusional dan elegan. Jangan lagi ada pengerahan massa dan pengerahan perusuh.
Dengan pendekatan dialogis di Mahkamah Konstitusi (MK), suasana kebangsaan akan kondusif, sehingga seluruh daya dan kekuatan nasional bisa diarahkan untuk fokus menghadapi tantangan riel di sektor ekonomi itu.
Jangan lupa bahwa durasi ketidakpastian global itu belum dapat diprediksi, sehingga banyak negara dipaksa untuk tetap mewaspadai berbagai kemungkinan terburuk.
Perang dagang AS versus Cina yang sudah lama bergema kini bukan lagi berstatus ancaman. Tetapi, perang itu telah menjadi hal nyata pada bulan Juni 2019 ini.
Hari-hari ini, AS telah menaikkan bea masuk impor berbagai produk Cina senilai 200 miliar dolar AS menjadi 25 persen dari sebelumnya yang 10 persen.
Cina membalas dengan menaikkan bea masuk berbagai produk AS senilai 60 miliar dolar AS. Beberapa hari sebelum perang itu diimplementasi, Bank dunia telah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 2,6 persen dari sebelumnya 2,9 persen.
Revisi ini mencerminkan kedongkolan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan sejumlah pemimpin negara, termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin serta Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres.
Putin mengencam AS karena lebih mengedepankan egoisme ekonomi yang tidak terkendali, yang pada giliran berikutnya akan menyebabkan lahirnya lebih banyak konflik di dunia.
Sementara Sekjen PBB mengingatkan AS dan Cina agar tidak berlarut-larut dalam perang dagang itu guna mencegah tumbuhnya potensi ‘perang dingin’ baru.