Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak kepolisian untuk mengungkap secara detail kematian 9 korban dan pelaku kerusuhan 21-22 Mei.
"Saat ini muncul disinformasi dari asumsi-asumsi masyarakat karena tidak adanya informasi yang resmi," kata peneliti KontraS Rivanlee saat menggelar konferensi pers di kantor KontraS, Jalan Kramat II, Jakarta Pusat, Rabu (12/6/19).
Rivanlee juga mengkritik klaim dari kepolisian terkait tidak adanya polisi yang menggunakan peluru tajam.
Baca: Jokowi Buka Pintu Bagi Gerindra, Pengamat: Jangan Sampai Tidak Ada yang Mengkritisi Pemerintah
Polisi seharusnya dapat memetakan mana saja aparat yang memegang peluru karet ataupun peluru hampa, untuk mendeteksi penggunaan senjata untuk apa saja.
"Kalau kemarin polisi mengatakan bahwa tidak ada personel yang memegang peluru tajam. Ya udah, tapi masalahnya ada yang meninggal nih. Kita gak tahu penyebabnya peluru tajam, peluru karet atau peluru hampa tetapi ada yang meninggal. Polisi juga tidak menjelaskan secara detail pasukan mana yang ditempatkan di Petamburan, di Slipi, atau di titik-titik tertentu untuk menghalau aksi massa atau menangani aksi massa yang berkumpul," ungkap Rivanlee.
Padahal, polisi seharusnya juga mempublikasi pemetaan penggunaan senjata oleh aparat yang di lapangan pada saat konflik berlangsung.
"Nah, itu seharusnya menjadi kewajiban kepolisian, tetapi itu tidak dibicarakan oleh polisi," ujar Rivanlee.
Baca: Gubernur Jatim Khofifah dan Wagub Emil Silaturahmi ke Kediaman Pakde Karwo dan Imam Utomo
Rivanlee juga menyampaikan bahwa KontraS telah melihat surat kematian dari tiga keluarga korban kematian pada konflik tersebut.
Dalam keterangan tertulis bahwa penyebabnya adalah 'cedera lainnya'.
"Nah, ini tidak ditelusuri lebih lanjut apakah penyebabnya karena tertembak peluru tajam atau apa. Karena jika tidak ditelusuri, ini menjadi multitafsir bisa aja ini, karena lempar batu atau kayak gimana," kata Rivanlee.
Rivanlee juga meminta polisi untuk membuka informasi lebih detail terkait kematian yang ada.
"Dalam proses setelah mereka meninggal itu, polisi juga tidak menjelaskan kabar mengenai autopsinya, lalu penyebab kematiannya, kemudian catatan dari rumah sakit," kata Rivanlee.
"Itu kenapa tidak ada sama sekali? Apakah mereka enggak ke rumah sakit yang menjadi tempat terakhir mereka meninggal itu?" katanya.
Menyayangkan pembatasan akses
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyayangkan pihak kepolisian yang melakukan pembatasan akses terhadap saksi maupun tersangka Kerusuhan 21-22 Mei 2019 lalu.
Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi KontraS Ferri Kusuma mengatakan, berdasarkan pengaduan yang diterima pihaknya, orang-orang yang ditangkap kesulitan untuk bertemu dengan keluarganya.
“Selain itu, tidak mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum/advokat. Hal ini bertentangan dengan Pasal 60 KUHAP, dimana setiap tersangka berhak untuk menerima kunjungan dari keluarganya,” kata Ferri saat menggelar konferensi pers di kantor KontraS, Jalan Kramat II, Jakarta Pusat, Rabu (12/6/19).
Baca: Poltekpar Tingkatkan SDM Lewat Pelatihan Hotel System VHP
Dia mengungkapkan, pihaknya sempat membuat posko pengaduan terkait kerusuhan yang terjadi pada 21-22 Mei 2019 tersebut.
“Ada 7 laporan ke kita terkait kerusuhan tersebut, itu setelah digabung dengan laporan dari LBH Jakarta. Kami sempat membuka posko pengaduan selama 4 hari,” kata Ferri.
Tak hanya itu, kata dia, pihak KontraS juga sempat mendapat laporan soal orang hilang dalam kerusuhan tersebut.
Baca: Serapan Anggaran Baru 19 Persen, Menteri PUPR Sebut Karena Faktor Tahun Politik dan Lebaran 2019
Namun, laporan tersebut dicabut keesokan harinya.
“Laporan orang hilang itu dicabut keesokan harinya karena yang bersangkutan ditemukan,” ujar Ferri.