Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel Capim KPK) mencari calon yang tidak terpapar radikalisme.
Demikian disampaikan Ketua Pansel KPK Yenti Garnasih kepada Tribunnews.com, Jumat (21/6/2019).
Baca: Istri dan Anak Mantan Danjen Kopassus Soenarko Ajukan Penangguhan Penahanan Sejak 21 Mei 2019
"Kita memang mencari calon yang tidak terpapar radikalisme," ujar akademisi Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini kepada Tribunnews.com.
Karena itu Pansel Capim KPK melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam proses seleksi Capim KPK.
Khususnya untuk mengantisipasi adanya Calon Pimpinan KPK terpapar ideologi radikalisme.
Yenti Garnasih mengatakan, langkah menggandeng BNPT dan BIN ini dilakukan karena melihat pertumbuhan paham radikalisme di Indonesia belakangan ini.
Baca: Meski Tak Bicara Sepatah Katapun, Hakim MK Kembali Tegur Bambang Widjojanto, Begini Kronologinya
Baca: 4 Pekerja Pabrik Mancis Selamat Berkat Makan Siang, Pipit: Kawanku Semua Habis, Mana Kawanku?
Karena itu Pansel KPK berharap BNPT dan BIN bisa menjadi filter utama untuk menyaring Capim KPK, khususnya agar tidak ada calon yang terpapar ideologi radikalisme.
"Kita hanya tidak ingin menghasilkan Capim yang terpapar radikalisme, selain juga harus memenuhi syarat yang lain yang tidak kalah pentingnya," tegas Yenti Ganarsih.
Anggota DPR Inginkan Capim KPK Tak Terpapar Paham Radikal
Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus bersih dan tidak terpapar paham ideologi lain di luar Pancasila.
Demikian menurut anggota Komisi III DPR Fraksi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu kepada Tribunnews.com, Jumat (21/6/2019).
Baca: Jokowi Ulang Tahun, Ini Ucapan Selamat dari Maruf Amin Hingga Fadli zon
Ini menanggapi langkah Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK turut bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mengecek rekam jejak calon. Khususnya untuk mengantisipasi adanya Calon Pimpinan KPK terpapar ideologi radikalisme.
"Memang seharusnya dilakukan demikian. Supaya pimpinan KPK, apalagi yang dilakukan seleksi secara terbuka, benar-benar harus clear and clean dari paham ideologi lain di luar Pancasila," ujar mantan aktivis '98 ini.
Selain itu Masinton Pasaribu juga meminta Pansel calon pimpinan KPK mencari orang-orang pemberani dalam menakhodai lembaga antirasuah ke depan.
"Pansel itu harus mencari calon-calon pimpinan yang berani keluar dari cara-cara KPK selama ini," tegas politikus PDI Perjuangan ini.
Ia mengatakan bahwa KPK sejak dibentuk 17 tahun lalu hingga kini tidak ada perubahan berarti dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Pola yang digunakan pun itu-itu saja karena hanya mengedepankakn penindakan.
Penindakan kasus yang dilakukan KPK, kata dia, hanya menangani perkara ringan. Yang seharusnya, kata dia, pihak KPK bisa menangani kasus korupsi di atas Rp1 miliar.
"KPK itu sejak dibentuk sampai sekarang, sudah 17 tahun, semakin kemari itu kan kerja KPK dalam pemberantasan korupsi kan enggak ada yang berubah," katanya.
"Itu-itu terus polanya, menindak, menindak dan itu bahkan secara jumlah kasus korupsi yang ditangani, perkaranya yang seharusnya di atas Rp1 miliar, malah jauh di bawah Rp1 miliar," imbuhnya.
Apalagi, menurutnya, penindakan tersebut merupakan hal yang juga dilakukan kepolisian, kejaksaan.
Mestinya, kata dia, KPK harus lebih dari sekadar menindak pelaku korupsi karena dia punya kewenangan melakukan pencegahan.
"Lembaga lain kan tidak memiliki kewenangan seperti yang dimiliki KPK. Cuma itu tidak dimaksimalkan KPK, dia cuma menindak jadinya, kerja KPK jadi kebablasan, menindak, sampai menindak perkara recehan, sampai ada istilah OTT recehan," lanjut Masinton.
Untuk itu, Masinton menegaskan orang-orang yang dibutuhkan KPK saat ini adalah yang berani keluar dari cara kerja seperti itu.
Selain itu, pimpinan yang punya keberanian melakukan penataan internal, serta merevitalisasi kerja pemberantasan korupsi yang tidak sesuai dengan UU KPK.
Pimpinan yang memiliki keberanian melakukan penataan internal kata dia, diperlukan.
Karena mereka akan mendapat hambatan dari internal KPK sendiri, yakni dari wadah pegawai yang disebut Masinton sudah menjadi rezim alias KPK dalam KPK.
"Wadah pegawai KPK ini, dia bukan sekadar silaturahmi memperkuat hubungan kerja antarpegawai, tapi sudah jadi institusi politik sendiri untuk menekan di dalam maupun ke luar. Berani menggugat pimpinannya. Pimpinan KPK yang baru ke depan harus bisa melakukan penataan internal," jelasnya.
Sebelumnya Anggota Pansel Hamdi Muluk mengatakan, ideologi radikal saat ini sudah masuk ke berbagai sektor mulai dari lembaga pendidikan hingga Badan Usaha Milik Negara.
"Itu sebabnya kita minta bantuan BNPT juga melakukan tracking. Jadi semua calon yang masuk, kita perlakukan sama. Siapapun dia, tolong di-tracking apa ada kemungkinan terpapar ideologi radikal," kata Hamdi, usai bertemu Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (17/6/2019).
Pada seleksi calon pimpinan KPK sebelumnya, BNPT tidak dilibatkan untuk mengecek rekam jejak calon.
Pansel saat itu hanya melibatkan institusi penegak hukum lainnya seperti Polri, Kejaksaan, KPK, Badan Intelijen Negara (BIN) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Namun, Hamdi menilai, kondisi saat ini mengharuskan BNPT untuk turut dilibatkan.
Baca: Bambang Widjojanto : Saksi TKN Banyak Menutupi Hal yang Sebenarnya Terjadi
"Saya kira, dari perkembangan terkini, baik di global atau Indonesia ada persoalan ini di mana-mana dan ada infiltrasi. Anda bisa baca penelitian, ada di sekolah, BUMN, infiltrasi itu sekarang menjadi kewaspadaan. Saya kira kita punya komitmen yang jelas bahwa pansel KPK harus terbebas dari kemungkinan terpapar ideoligi radikal," kata dia.
"Sebenarnya ini sesuatu yang normatif bahwa hari ini lebih ekstra hati-hati. Dulu kan tidak ada tracking ini. Tapi hari ini kita berhati-hati saja. Tidak ada salahnya kita men-tracking kemungkinan-kemungkinan itu," jelasnya.