Dengan bisa mandiri secara ekonomi, Suhendra pun bisa bersikap independen, tidak bisa didikte oleh pihak mana pun, baik yang dibarengi dengan iming-iming (tawaran) atau pun ancaman." Tawaran dan ancaman itu soal biasa,kita istikomah saja, " tutur pria low profile ini.
“Tunggal Sabahita”
Tak terkecuali menyangkut kiprahnya sebagai pendiri dan Ketua Umum Putra-putri Jawa Kelahiran Sumatera, Sulawesi dan Maluku (Pujakessuma) Nusantara, yang ia rasakan juga penuh tantangan.
Dengan potensi 23 juta anggota yang tersebar di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Maluku, yakni di Maluku ada Jamal (Jawa-Maluku), di Sulawesi ada Jaton (Jawa-Tondano), di Sumatera ada Jamin (Jawa-Minang), Jabat (Jawa-Batak) dan Jadel (Jawa-0eli), Pujakessuma pun mempersatukannya dan menjadi organisasi yang banyak dilirik parpol. Namun, Pujakessuma menjawab dengan prestasi, dengan membagikan 1.400 sertifikat gratis yang sempat "ditahan "oknum -oknum pejabat kpd masyarakat Secanggang, Langkat, Sumut.
"Pesiden tentu bisa membagikan sertifikat gratis karena memang punya kewenangan untuk itu. Kalau saya hanya bermodalkan semangat," ujarnya sambil menambahkan Pujakessuma akan berupaya terus membantu pemerintah dengan menggagas dan menginisiasi lahirnya Badan Sinkronisasi Kebijakan Pusat dan Daerah, tindak lanjut dari moratorium ribuan perda bermasalah.
"Saya banyak turun ke daerah-daerah, tidak saja antara pusat dan daerah, antara daerah dan daerah saja juga banyak masalah. Ini juga penting untuk menghidari banyaknya potensi konflik antar-institusi negara. Jadi, bukan hanya perda saja. Jika antar-institusi menghabiskan energi untuk saling sengketa, kapan kita membangunnya?" tanya dia sambil menambahkan, bila secara organisatoris Pujakessuma pernah berpihak, maka hal itu hanya terjadi pada Pilpres 2019 kepada pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 01, petahana Presiden Joko Widodo dan KH Maruf Amin, karena visi dan misi keduanya selaras dengan Pujakessuma.
Secara singkat, terang Suhendra, visi dan misi Pujakessuma tercermin dari falsafah“tunggal sabahita”' atau tunggal sekapal. “Tunggal” ialah satu, dan “sabahita” ialah perahu atau kapal laut, sehingga “tunggal sabahita” berarti kebersamaan dalam satu kapal.
Replika “Bahita” terpahat di relief Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Suhendra lalu merujuk sejarah orang-orang Jawa yang “dibuang” ke Sumatera oleh pemerintah kolonial Belanda secara bergelombang sejak 1880 menggunakan kapal laut untuk kerja paksa.
Di Sumatera, dan kemudian juga di Sulawesi, Maluku dan pulau-pulau lain di Indonesia, bahkan sampai ke Semenanjung Malaya dan Madagaskar, ungkap Suhendra, mereka beranak-pinak, dan memiliki ikatan persaudaraan yang tinggi untuk bertahan hidup (survive) di perantauan, dan rasa persaudaraan itu sama seperti saudara kandung yang kemudian diturunkan ke anak-cucu.
“Kita selalu merasa senasib sepenanggungan, ibarat berada di sebuah kapal,” jelas keturunan Jawa kelahiran Medan, 51 tahun lalu ini.
Sebagai bangsa yang hidup di negeri maritim, lanjut Suhendra, nenek-moyang kita memang dikenal sebagai pelaut ulung. Sebab itu, "sabahita" pun dimaknai sebagai hidup mati bersama, apa pun masalahnya harus dihadapi bersama.
Apa pun permasalahan antar-pribadi yang muncul di atas "sabahita", harus diselesaikan di daratan, jangan sampai mengganggu kebersamaan di lautan.
“Pemimpin yang menghayati makna ‘tunggal sabahita’ akan mampu membawa rakyat ke pulau harapan,” cetus Suhendra yang juga pendiri Hadiekuntono’s Institute (research, intelligent, spiritual) ini.
“Ciri khas Pujakessuma adalah gotong-royong, ikatan persaudaraan yang kuat, dan daya survival yang tinggi,” tukas Suhendra sambil menambahkan bila bicara Pujakessuma maka sama sekali tidak bermuatan primordialisme atau suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).