TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berbasis sistem zonasi, dapat mencegah terjadinya putus sekolah pada anak usia sekolah.
Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Regulasi, Katarina Mulyana mengatakan, berdasarkan data Bappenas pada Agustus 2018, angka tenaga kerja di Indonesia 57,46 persen merupakan tamatan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
"Angka putus sekolah paling tinggi itu mau ke SMP dan mau ke ke SMA, mereka putus sekolah karena terseleksi hasil UN (ujian nasional), sehingga tidak masuk ke sekolah lanjutan," ujar Katarina di Jakarta, Senin (1/7/2019).
Menurutnya, sekolah favorit itu seharusnya dapat menciptakan siswa yang nilainya kecil menjadi lebih baik, bukan hanya sebatas menerima siswa-siswa yang nilai Ujian Nasionalnya tinggi.
"Kalau mau jujur, anak-anak yang nilai UN-nya tinggi, mereka ikut bimbel kok," tutur Katarina.
Baca: Dua Pati Polri yang Diisukan Jadi Capim KPK Belum Lapor LHKPN
Selain itu, sistem zonasi dapat meningkatkan kualitas akademik peserta didik, dimana komunikasi antar orang tua dan anak akan semakin meningkat karena jarak rumah serta sekolah tidak terlalu jauh.
"Orang tua dapat dengan mudah memberikan pengawasan pasca kegiatan belajar-mengajar di sekolah selesai," ucapnya.
Diketahui, Permendikbud 51/2018, mengatur penerimaan murid baru dilakukan tiga jalur. Yaitu, zonasi (jarak rumah dengan sekolah) memiliki kuota minimal 90 persen, prestasi dengan kuota maksimal 5 persen, dan jalur perpindahan orang tua maksimal 5 persen.