News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres 2019

Mengapa Belum Ada Satu pun Partai yang Deklarasi Jadi Oposisi Setelah Pilpres?

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Capres dan Cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto (tengah) dan Sandiaga Uno (kedua kanan) memberikan keterangan pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan terkait perolehan suara Pilpres 2019 di kediaman Prabowo Subianto di Jakarta, Kamis (27/6/2019) malam. Dalam keterangannya, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno menerima hasil keputusan Mahkamah Konstitusi terkait gugatan Pilpres 2019. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Belum satupun partai politik mendeklarasikan diri menjadi oposisi pemerintah, terutama partai dari Koalisi Adil Makmur yang menyokong Prabowo Subianto, usai Mahkamah Konstitusi menyatakan tak ada kecurangan dalam pilpres 2019.

Gerindra masih menunggu Prabowo menentukan posisi mereka terhadap pemerintah. Sementara PKS, PAN, dan Demokrat baru akan membahas sikap mereka dalam forum resmi partai.

Bagaimanapun, pengamat menilai partai bakal cenderung menanggung lebih banyak kerugian sebagai oposisi, ketimbang saat duduk bersama pemerintah.

Sebagai orang nomor satu di Gerindra, Prabowo disebut akan berbincang dengan kelompok pendukung dan partai yang mengusungnya selama pilpres terkait posisi Gerindra.

Baca: Gerindra Tunggu Hasil Pertemuan Jokowi-Prabowo Lalu Putuskan Jadi Oposisi atau Gabung Pemerintah

Baca: Diminta Ucapkan Selamat ke Jokowi-Maruf, Sandiaga Uno Bilang Itu Kayak Budaya Barat

Namun menurut Wakil Ketua DPP Gerindra, Andre Rosiade, partainya tetap dapat unjuk gigi jika kembali berseberangan dengan pemerintah.

"Terus terang kami belum tahu kapan itu akan diputuskan, tapi apapun keputusan Pak Prabowo, kami harus bisa bermanfaat, baik di luar atau di dalam pemerintahan," ujar Andre, Jumat (28/06).

"Kami sudah menjadi oposisi sejak 2009. Tidak ada masalah bagi kami di dalam atau luar pemerintah," kata Andre via telepon.

Sejak didirikan tahun 2008, Gerindra belum pernah menempatkan perwakilan mereka di kabinet pemerintah, baik era Susilo Bambang Yudhoyono maupun Jokowi.

Andre menilai apapun sikap yang diputuskan partainya setelah perhelatan pemilu 2019 tidak bakal berdampak langsung pada capaian mereka pada pemilu 2024. "Masih jauhnya," ucapnya.

Pada awal tahapan pilpres 2019, Gerindra bersama empat partai lain membentuk Koalisi Adil dan Makmur untuk mengusung Prabowo. Mereka bekerja sama dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, dan Partai Berkarya.

Usai putusan MK, Kamis lalu, Prabowo mempersilakan kolega partainya menentukan posisi politik untuk lima tahun ke depan.

PAN menyatakan keputusan menjadi oposisi atau bagian dari pemerintahan bakal mereka tentukan dalam rapat kerja nasional. Adapun Demokrat telah membangun komunikasi dengan Jokowi melalui ketua umum mereka, SBY.

Sejumlah pertimbangan juga akan dibahas PKS secara khusus dalam forum majelis syuro. Meski begitu, menurut Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera, oposisi lebih menjanjikan keuntungan politis bagi mereka.

"Demokrasi akan sangat sehat kalau ada kekuatan penyeimbang. Perlu ada oposisi kritis dan konstruktif," ujarnya via telepon.

"PKS selama lima tahun ini jadi kekuatan penyeimbang. Konstruktif artinya, yang bagus dari pemerintah kami dukung, tapi kalau ada yang salah, kami perbaiki," tuturnya.

Bagaimanapun, partai politik dianggap bakal menanggung persoalan finansial saat menjadi oposisi, terutama dalam perpolitikan yang masih bergantung pada kekuatan patron.

Menjadi oposisi dalam waktu kurun waktu berturut-turut bukan pilihan yang rasional, termasuk bagi Gerindra, kata Dosen ilmu politik Universitas Airlangga, Haryadi.

"Tidak ada satupun partai yang merasa nyaman berjauhan dengan kekuasaan. Yang ada adalah rasa sakit secara material," ujar Hariyadi.

"Itulah mengapa setelah hitung cepat pemilu, satu per satu partai koalisi Gerindra membangun komunikasi dengan pihak Jokowi, tuturnya.

Menurut Hariyadi, bergabung ke pemerintahan dan mendapat jatah kursi menteri lebih rasional bagi Gerindra.

Meskipun berpotensi ditinggalkan kelompok penyokong seperti Persaudaraan Alumni 212, Gerindra dianggap tidak bakal goyang karena massa itu bukan konstituen murni mereka.

"Kalau Gerindra masuk kekuasaan, mereka akan lebih mudah menyiapkan diri dalam kontestasi 2024, dengan memanfaatkan instrumen kebijakan pemerintah."

"Walau akan ada pengaruh, suara kelompok seperti itu tidak signifikan karena mereka secara ideologis lebih dekat ke PKS," kata Hariyadi.

"Kalau akhirnya Gerindra menjadi oposisi, itu karena terpaksa. Itu bukan sesuatu yang diinginkan secara politik, termasuk oleh PKS. Partai masih oligarki, biaya politiknya sangat tinggi," ujarnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini