News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres 2019

Tak Bangga Jika Gabung Koalisi Pemerintah, PKS : Kalau Semua Seragam Jadilah Neo Orba

Editor: Imanuel Nicolas Manafe
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera ( PKS) Mardani Ali Sera menanggapi peluang sejumlah partai politik pendukung Prabowo-Sandiaga bergabung ke koalisi pendukung pemerintah.

Menurut Mardani Ali Sera, partainya tak merasa bangga jika bergabung dengan mereka pascapilpres 2019.

Baca: Bagaimana Jika Gerindra Gabung Koalisi Pemerintah? Ini Dampaknya bagi Demokrasi Tanpa Oposisi

Sebab menurut Mardani, jika sebagian besar parpol di parlemen mendukung pemerintah, tidak akan ada oposisi yang berperan sebagai pengontrol atau pengawas kebijakan.

Dengan begitu, masyarakat akan dirugikan. "Kalau PKS sendiri, enggak bangga, enggak senang (gabung ke koalisi pendukung pemerintah). Yang dirugikan kalau tidak ada oposisi adalah publik. Kepentingan publik tidak akan terwakili secara institusional," ujar Mardani dalam sebuah diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (1/7/2019).

Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno pasca-putusan MK terkait gugatan sengketa Pilpres 2019. (Instagram/prabowo)

Mardani berharap empat parpol di parlemen yang mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada Pilpres 2019 bertransformasi menjadi oposisi yang kritis dan konstruktif.

Artinya tidak ada partai yang memutuskan untuk bergabung ke koalisi pendukung pemerintahan Joko Widodo Maruf Amin periode 2019-2024.

Ia mencontohkan bagaimana peran oposisi dalam mengkritisi kebijakan pemerintah, misalnya kebijakan Presiden Joko Widodo mengundang maskapai asing untuk menangani masalah tingginya harga tiket pesawat.

Menurut Mardani, kebijakan tersebut baik dilakukan hanya dalam jangka pendek.

Jika diterapkan dalam jangka panjang, ia khawatir perusahaan asing justru dapat menguasai pasar dalam negeri.

Oleh sebab itu sebagai oposisi, elite parpol di parlemen dapat mengusulkan penguatan peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Baca: Kasus Perampokan di Depok, Korban Tewas Seorang Pensiunan TNI, Terduga Pelakunya Mantan Pembantu

Sebab, Mardani menilai tingginya harga tiket pesawat disebabkan oleh adanya praktik monopoli.

"Jadi kalau enggak ada oposisi, yang rugi publik. Kalau semuanya seragam jadilah neo orde baru," kata Mardani.

Tak Ada Oposisi Ancam Demokrasi

Menurut analis politik Pangi Syarwi Chaniago, kelompok oposisi dalam sistem demokrasi memegang peranan yang sangat penting untuk mewujudkan mekanisme ‘checks and balances’.

Mekanisme ini dibutuhkan untuk mewujudkan tata kelola dan penyelenggaraan pemerintahan yang terkontrol sehingga pemerintahan yang sedang berkuasa tidak keluar "jalur" dan bertindak sewenang-wenang.

Baca: Kata Anies soal Penerbitan IMB di Pulau Reklamasi Tak Perlu Konslutasi DPRD DKI

Oleh karena itu, kelompok oposisi juga harus diperkuat untuk memaksimalkan perannya sebagai penyeimbang kekuasaan.

"Mekanisme “checks and balances” harus dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri," kata Pangi dalam keterangannya, Senin (1/7/2019).

Berkuasa atau berada dalam barisan oposisi menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting ini adalah satu paket.

Tujuannya, tetap sama yakni memastikan negara berjalan sesuai konstitusi dan meminimalisir terjadinya penyimpangan dan penyelewengan kekuasaan.

Menurut Pangi, pandangan sinis terhadap oposisi sebagai kelompok "penggangu" harus diluruskan, karena pemahaman yang sangat keliru dan fatal dalam berfikir.

Calon Presiden Nomor Urut 1, Joko Widodo dan no urut 2, Prabowo Subianto bersalaman usai Debat Kedua Calon Presiden, Pemilihan Umum 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019). (KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

"Memandang sinis terhadap oposisi dan upaya mengkebiri kelompok ini sebagai "penggangu" stabilitas negara akan mendorong negara kejurang tirani mayoritas dan otoritarianisme," kata Pangi.

Oleh karena itu, lanjut Pangi, adanya upaya ‘rekomposisi’ koalisi pasca pilpres adalah bentuk ketidak-percayaan diri koalisi pemenang pilpres terhadap kekuatan politiknya sendiri.

Di sisi lain juga sebagai upaya membungkam kelompok oposi untuk melumpuhkan daya kritisnya terhadap kekuasaan sebagaimana yang telah dilakukan pada periode sebelumnya.

"Apakah belum cukup dukungan partai di parlemen sekarang terhadap pemerintahan Jokowi? Kalau kita perhatikan kekuatan politik dan dukungan partai di parlemen terhadap pemerintahan Jokowi, sudah lebih dari cukup yakni 60 persen," katanya.

Intrik politik semacam ini, tutur Pangi, semestinya bisa dihindari dengan upaya membentuk koalisi permanen yang tidak mudah goyah hanya karena godaan pembagian “kue kekuasaan” semata, meski terkadang kue yang dibagi-bagi itu sisa kekuasaan yang sudah basi.

Koalisi permanen akan mendorong kelompok oposisi punya proposal tandingan sebagai “second opinion” sehingga nantinya kebijakan pemerintah bukan hanya dikritik tanpa dasar, namun juga punya alternatif berfikir konstruktif dengan harapan bisa menjadi jalan pikiran yang lebih baik untuk perbaikan bangsa ke depannya.

"Soal tawaran agar Gerindra masuk ke koalisi pemerintah Jokowi bagaimana? Menurut pendapat saya, sebaiknya jangan, sebab kenapa? Pertama, tentu saja tidak sehat bagi sistem politik Indonesia ke depannya, kedua bisa menurunkan kualitas demokrasi kita," katanya.

"Salah satu kelemahan sistem presidential setengah hati adalah karena dipadukan dengan multipartai, ini yang sering kita sebut cacat bawaan sistem presidential multi-partai, tidak berlebihan saya sebut sistem presidential banci," tutur Pangi.

Sementara, sistem presidential murni itu bagaimana?

Partai pengusung utama calon presiden yang menang langsung jadi partai berkuasa “the rulling party” sementara yang kalah langsung otomaticly memposisikan diri menjadi “partai oposisi”.

Bagaimana etika partai pengusung capres tersebut usai kontestasi?

Pangi memberi contoh seperti di Amerika Serikat, partai punya fatsun politik, tidak ada cerita setelah presiden terpilih, yang tadinya berseberangan, lalu di tengah jalan bergabung ke koalisi presiden terpilih.

"Apakah partai tersebut “berkeringat” memenangkan presiden terpilih? Apakah “berdarah-darah” memenangkan calon presidennya? Kita ini ya lucu, karena alasan “mengamankan” kepentingan di parlemen, supaya tidak diganggu dan mendapat dukungan penuh di DPR, dengan harapan semua program dan kebijakan pemerintah dapat berjalan mulus di parlemen kemudian menjadi alasan merangkul partai oposisi dalam pilpres," ucapnya.

Pangi mengatakan harus diakui, dengan sistem multipartai sekarang, tidak ada kursi partai yang dominan di atas 20 persen kursi parlemen dan 25 persen suara nasional, ini barangkali yang membuat presiden terpilih di tengah jalan harus melakukan kompromi politik dengan merangkul, mengakomodir tambahan kekuatan partai koalisi di parlemen.

"Sebuah konsekuensi dari sistem presidential bercita rasa “multipartai”, presiden terpilih harus ‘berkompromi’ dengan partai yang pernah menjadi lawan tandingnya dalam pilpres," katanya.

Menurut Pangi, sebaiknya Gerindra berada di posisi oposisi. Jika bergabung dengan koalisi pemerintah, dia menilai lebih banyak mudaratnya untuk Gerindra dan demokrasi Indonesia.

Pangi mengungkapkan alasan pertama, Gerindra punya kans bisa memenangkan pemilu legislatif 2024, kalau citra pemerintah Jokowi tidak memuaskan nantinya, tidak mampu memenuhi target janji politiknya, sebab Jokowi punya asosiatif langsung terhadap PDIP, kalau Jokowi baik, PDIP juga mendapatkan dampak elektoral, namun kalau kinerja Jokowi periode kedua tidak baik, maka berpotensi mengerus/tsunami elektabilitas PDIP.

"Apalagi tabiat yang ganjil dalam sejarah sistem kepartaian kita apakah ada partai berkuasa selama 3 kali berturut turut bisa memenangkan pemilu legislatif?" ucap Pangi.

Kedua, lanjut Pangi, tentu saja Gerindra salah satu partai yang mampu mengimbangi, mengkoreksi jalannya pemerintahan, partai papan atas yang punya roh “bergaining posisition” memainkan peran oposisi.

Baca: Kronologi Pengeroyokan Tewaskan Anggota TNI Hingga Sosok Korban di Mata Keluarga dan Warga

Ketiga, Pangi memahami partai pengusung utama Jokowi sedikit “keberatan” dengan bergabungnya partai PAN, partai Demokrat dan Gerindra maupun PKS, karena bisa menganggu jatah kursi menteri dan jabatan strategis lainnya, secara sederhana memantik kecemburuan dan secara etika politik pun nampak “tidak elok”.

"Lebih baik Gerindra puasa 5 tahun lagi, kita hakul yakin Gerindra punya momentum emas, punya kans memenangkan pemilu 2024," katanya.

Penulis : Kristian Erdianto

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul : Ketua DPP PKS: Kami Tak Bangga jika Gabung Koalisi Pendukung Pemerintah

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini