TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA-Nama Komjen Pol (Purn) Anang Iskandar mendadak muncul lagi di pemberitaan setelah mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) itu mendaftarkan diri sebagai calon Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (3/7).
Kini, Anang tercatat sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta. Pria kelahiran Mojokerto 61 tahun lalu ini juga mempunyai sejumlah hobi, di antaranya melukis gaya abstrak filosofis.
Lalu, apa yang membuat lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) 1982 ini, ingin menjadi pimpinan KPK? " Saya bukan birokrat, bukan politikus. Saya masyarakat biasa yang kebetulan profesinya dosen, kemudian terpanggil untuk menjadi calon pimpinan KPK berbekal pengalaman"
Kalau dipercaya alhamdulillah, tidak dipercaya ya alhamdulillah. Tapi tetap berusaha. Prinsipnya berserah diri," tambah mantan Kapolwitabes Surabaya itu.
Berikut petikan wawancara Tribun Network dengan mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) tersebut;
Bagaimana Anda melihat para perwira tinggi Polri berbondong-bondong mengikuti seleksi calon pimpinan KPK?
Pada prinsipnya saya tidak ingin bersaing dengan mereka. Mereka masih aktif, saya sudah pensiun.Saya berangkat dari akademisi. Saya seorang dosen yang punya pengalaman sebagai Kepala Bareskrim Polri dan Kepala BNN. Saya bukan saingan mereka karena mereka praktisi. Saya sudah tiga tahun pensiun dari Polri. Artinya saya sudah kembali ke masyarakat biasa.
Isu yang santer di KPK saat ini, soal paham radikal. Kemudian, soal adanya dua kubu di internal KPK, yakni kelompok Taliban dan Polisi India. Bagaimana menurut Anda?
Menurut saya sebenarnya tidak ada yang begitu‑begitu. Saya yakin birokrat di manapun tidak ada yang seperti itu. Hanya saja, perlu manajemen dan leadership (kepemimpinan) yang kuat untuk organisasi sebesar KPK.
Menggunakan manajemen yang baik, administrasi manajemen, dan leadership bagus, saya yakin tidak ada friksi-friksi semacam itu.
Isu yang lain, yakni soal perlindungan terhadap penyidik KPK. Kita tahu kerap terjadi teror yang menyasar kepada penyidik. Misal, penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Bagaimana Anda melihat ini?
Perlindungan terhadap penyidik itu memang belum ada aturan khusus. Saya yang pernah jadi penyidik (di Polri) memang belum pernah dilindungi.
Penyidik yang harus dilindungi tidak dari KPK saja, tapi seluruh penyidik harus mendapatkan jaminan. Saya merasakan itu. Apa yang membuat Anda terdorong untuk menjadi pimpinan KPK? Mengapa tidak di lembaga lain?
Alasannya sebenarnya tidak ada yang khusus. Dalam arti setelah ada pengumuman (dari panitia seleksi), kami rembuk‑rembuk, rasanya kok memenuhi syarat. Karena merasa memenuhi syarat, saya mendaftar. Jadi tidak ada alasan khusus. Calon itu melalui seleksi, bisa terpilih, bisa tidak. Intinya begitu.