TRIBUNNEWS.COM - Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril yang terdiri dari LBH Pers, ICJR, MaPPI FH UI, LBH Apik, Elsam, AJI Jakarta, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (Jakarta Feminist Discussion Group), PurpleCode Collective, Perempuan Lintas Batas (Peretas), Hollaback! Jakarta, Paku ITE, Safenet dan KPI Wilayah DKI Jakarta mendesak Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Ibu Baiq Nuril.
Hingga berita ini diturunkan, sudah ada dukungan dari 244.082 orang yang telah meneken petisi "Amnesti untuk Nuril: Jangan Penjarakan Korban!" melalui platform digital change.org
Baca: MA Tolak PK Baiq Nuril, Simak Awal Mula Kasus hingga Komentar Joko Widodo
Bestha Inatsan (Peneliti MaPPI FH UI) bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril merasa Amnesti merupakan harapan terakhir Ibu Nuril agar dirinya tidak dipenjara dan harus dipisahkan dari keluarganya atas keberaniannya untuk melawan pelaku kekerasan seksual yang dialaminya.
"Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril juga menagih janji DPR untuk membentuk Tim Eksaminasi perkara ini. Dengan membentuk Tim Eksaminasi, akan terlihat bagaimana kasus ini tidak layak untuk diadili dan diproses, sehingga DPR dapat memberikan dorongan kepada Presiden untuk memberikan amnesti kepada Ibu Nuril," ucap Bestha Inatsan dalam keterangannya, Sabtu (6/7/2019).
Bestha Inatsan menilai penolakan perkara PK Ibu Nuril mempersulit upaya untuk mendorong korban kekerasan seksual berani menyuarakan pengalaman kekerasannya dan mendesak Presiden Joko Widodo untuk memberikan amnesti kepada Ibu Nuril
Diketahui Jumat, 5 Juli 2019 kemarin Mahkamah Agung (MA) melalui juru bicaranya menyatakan bahwa perkara Peninjauan Kembali (PK) Pemohon Baiq Nuril Maknun ditolak.
Dengan ditolaknya PK Ibu Nuril, maka MA telah menguatkan putusan pemidanaan yang dijatuhkan kepada Ibu Nuril, yakni pidana penjara 6 bulan dan denda 500 juta.
Penolakan dari Mahkamah Agung ini, menurut Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril, sangatlah mengecewakan.
Pasalnya, kasus Ibu Nuril yang melakukan perekaman terhadap kekerasan seksual yang terjadi terhadap dirinya, merupakan perbuatan yang seharusnya didukung dan atas kejadian yang dialaminya, Ibu Nuril seharusnya diberikan perlindungan oleh negara.
"Sayangnya, negara justru menjerat Ibu Nuril dengan pidana penjara, karena dianggap telah melakukan distribusi informasi elektronik yang bermuatan kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 (1) UU ITE," ujarnya.
Mahkamah Agung, lanjut Bestha Inatsan, seharusnya dapat lebih cermat dan berperspektif dalam menilai kasus ini, mengingat MA sendiri telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Dalam PERMA ini, disampaikan bahwa dalam pemeriksaan perkara, hakim diminta mempertimbangkan beberapa aspek kesetaraan gender dan non diskriminasi dalam proses identifikasi fakta persidangan.
Sayangnya, hal inilah yang kemudian gagal untuk dilakukan oleh MA, yang akhirnya berdampak pada putusan pemidaanaan Ibu Nuril.
Tidak hanya kegagalan dalam melihat kasus Ibu Nuril ini sebagai sebuah kasus kekerasan seksual yang tidak layak untuk diadili, MA, merujuk pada putusan kasasi dalam perkara ini, justru gagal dalam melihat pertanyaan hukum yang harus dijawab di dalam perkara berkaitan dengan pembuktian.
Perlu diketahui, bahwa alat bukti elektronik yang diajukan di dalam persidangan kasus ini, bukan merupakan alat bukti elektronik asli, melainkan hasil penggandaan berulang kali tanpa adanya rekaman asli yang dapat menguatkan orisinalitas dari alat bukti ini.
Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril mendesak agar putusan ini tidak dijadikan preseden dalam penanganan perkara perempuan yang mengalami kekerasan seksual.
Sebab jelas hal ini akan mematikan upaya untuk mendorong korban kekerasan seksual berani berbicara dan bertindak atas kekerasan yang dialaminya.
Baca: Ditanya tentang Kasus Baiq Nuril, Jokowi: Perhatian Saya Sejak Awal Tidak Berkurang
Korban kekerasan seksual harus diberikan ruang yang aman untuk berbicara, menyampaikan kasusnya, dan memperoleh keadilan atas apa yang terjadi kepadanya.
"Jangan sampai karena kasus ini, Ibu Nuril- Ibu Nuril lain justru semakin takut untuk mengutarakan apa yang dialaminya dan oleh karenanya pelaku kekerasan seksual semakin leluasa dalam bertindak sewenang-wenang," tegasnya.
Kebanggaan dan harapan Baiq Nuril
Meski tengah berhadapan dengan hukum, Baiq Nuril merasa bangga bisa menjaga harkat dan martabatnya sebagai perempuan.
Hal tersebut diungkapkan ibu tiga anak tersebut menanggapi putusan Mahkamah Agung yang menyatakan dirinya tetap bersalah dalam kasus hukum yang menjeratnya.
Baca: PKB Anggap Aneh Narasi Rekonsiliasi Pasca-Pilpres Dikaitkan dengan Habib Rizieq
"Sampai saat ini saya merasa bangga. Sampai saat ini, sampai detik ini, harkat dan martabat saya sebagai perempuan masih tetap terjaga,” ujar Nuril, Jumat (5/7/2019).
Baiq Nuril mengatakan, dirinya sudah bisa berlapang dada menerima segala keputusan hukum dan siap menjalani proses hukum.
Baiq Nuril merasa putusan MA tersebut merupakan jalan terakhir yang sudah ia tempuh.
"Insya Allah saya siap, saya berlapang dada menerima putusan ini, karena ini juga perjuangan terakhir,” ujar Nuril sambil mengusap air matanya.
Nuril mengharapkan dukungan dan doa dari masyarakat, agar dia beserta anak dan keluarganya tetap tabah menerima kondisi hukuman yang menjerat dirinya.
Baiq Nuril meyakini doa dari masyarakat dan orang-orang terdekatnya dapat membuatnya kuat menjalani hukuman.
"Saya minta kepada teman-teman semuanya, dukungan dan doanya, khususnya kepada anak-anak saya dan keluarga, agar tetap bisa menerima semua ini,” ujar Baiq Nuril dengan nada pelan.
Sebelumnya, MA menolak peninjauan kembali (PK) kasus penyebaran konten bermuatan asusila Baiq Nuril, sehingga ia mesti menjalani hukuman enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta.
Mantan tenaga honorer SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat itu kini tidak bisa mengambil langkah hukum lainnya, apalagi mengajukan PK dengan menghimpun bukti-bukti baru.
Kasus ini bermula saat Baiq Nuril menerima telepon dari Kepala Sekolah berinisial M pada 2012.
Dalam perbincangan itu, M menceritakan tentang hubungan badannya dengan seorang wanita yang juga dikenal Nuril.
Karena merasa dilecehkan, Nuril merekam perbincangan tersebut.
Pada 2015, rekaman itu beredar luas di masyarakat Mataram dan membuat M geram.
Kepala Sekolah tersebut lalu melaporkan Nuril ke polisi karena merekam dan menyebar rekaman tersebut.
Baca: Soal Rumor Gerindra Merapat ke Pemerintah, Politikus Golkar : Harus Ikhlas, Tak Perlu Target Menteri
MA lewat putusan kasasi pada 26 September 2018 menghukum Baiq Nuril 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Vonis hukuman itu diberikan sesuai dengan pelanggaran Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 UU Nomor 11/2008 tentang ITE. (Tribunnews.com/Kompas.com)