Laporan wartawan Tribunnews Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua tahun sudah Joko Jumadi menjadi kuasa hukum Baiq Nuril, seorang pegawai honorer di SMA Negeri 7 Mataram yang divonis bersalah atas dakwaan melanggar UU ITE. Selama dua tahun itu pula Joko Jumadi melihat secara langsung bagaimana perjuangan Baiq Nuril dalam mencari keadilan.
Perjuangan mereka tidak mudah. Di luar meja hijau, banyak pihak yang sempat menyebut Nuril bersalah, bahkan keluarganya sendiri. Masyarakat juga tidak mendapatkan edukasi yang tepat soal perkara ini.
Namun demikian, perkara Nuril kini berada di opsi amnesti. Joko Jumadi bahkan tak menyangka kasus Nuril bisa sejauh ini dan menyedot atensi publik.
Bagaimana cerita perjuangan Baiq Nuril dalam menjalani perkara ini dari kaca mata Joko Jumadi? Berikut ini penuturan Joko kepada Tribun Network saat ditemui di Jakarta, Selasa (9/7).
Jika dilihat ke belakang, apa yang membuat Anda tergerak untuk menjadi kuasa hukum Baiq Nuril?
Saya masih ingat sekitar bulan Maret atau April 2017 ada seorang sahabat saya yang menyampaikan ada keluarga tetangganya yang anaknya terlantar gara-gara ibunya ditahan oleh polisi. Saya tanya, "Lho, tidak ada bapaknya?" "Bapaknya ada, tapi kerja di Gili Trawangan." "Kasus apa?" "Kasus di SMA Negeri 7 Mataram. Kasus rekaman-rekaman itu." "Oh rekaman yang itu."
Dulu saya memang pernah sempat mendengar rekaman itu. Rekaman itu beredar di anak-anak. Ada staf saya di SMA 7 yang memberikan kepada saya. "Itu kan kepala sekolahnya? Ya sudah nanti saya bantu, deh." Saya berpikir anaknya dulu karena saya di perlindungan anak. Meski saya di BKBH, orang di Lombok selalu mengidentikkan saya ke anak. Urusannya dengan anak. Ada anak yang terlantar, lapor ke saya. Bertemulah saya dengan paman, bibi dan suaminya Nuril. Kala itu keluarga masih beranggapan Nuril yang bersalah.
Jadi saat itu keluarga masih menganggap Nuril yang bersalah?
Iya. Dianggap Nuril ini ada salahnya. Kira-kira begitu. Keluarganya juga sudah beberapa kali melakukan pendekatan ke Muslim, tapi tidak membuahkan hasil. Ketika saya pelajari kasusnya, lho kok kasus seperti ini? Kok bisa? Ya sudah ini... (Joko menerangkan secara off the record). Saya mencoba mencari informasi kasus ini. Akhirnya kita memang mendampingi.
Ada masyarakat miskin meminta bantuan ke kita, ya kita dampingi. Pendampingannya juga tidak serta-merta. Dan betul, dakwaan itu hanya dua lembar. Dan sidang kedua mulai ramai di media. Dan akhirnya menjadi viral saat itu.
Ya memang awalnya dari keluarga tidak yakin kita bisa membantu mereka. Karena berpikirnya tidak bisa membayar. Itu yang menjadi beban mereka, tapi semua kasus di kita cuma-cuma semua.
Masih di Mataram. Tidak membutuhkan biaya. Itulah kemudian kita bantu pahami. Harapan kita sudah selesai di Mataram, tidak berpikir sampai sejauh ini. Ini kasusnya, ya mohon maaf, dibilang sepele dan keputusan pengadilan bebas. Itu sudah sangat luar biasa, tidak menduga kasus ini harus sampai Peninjauan Kembali apalagi sampai amnesti. Tidak pernah terpikirkan sama sekali.
Menyinggung soal biaya, kita tahu dalam advokasi ini membutuhkan biaya. Dari mana sumbernya?