TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peraturan pemerintah pusat dan daerah yang mengatur tentang sampah plastik dinilai tidak sesuai dengan Peraturan Perundangan Persampahan.
Di samping itu, juga tidak tepat sasaran karena akan merugikan masyarakat (konsumen).
Pelarangan itu juga bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan negara.
Ini benang merah acara Focus Gorup Discussion (FGD) bertema Pengembangan Industri Plastik Dengan Berorientasi Pada Lingkungan” di Jakarta belum lama ini.
Para pelaku industri produsen dan pengguna plastik yang tergabung dalam Forum Lintas Asosiasi Industri Produsen dan Pengguna Plastik (FLAIPPP) menolak peraturan pemerintah.
Rachmat Hidayat yang mewakili APINDO mengatakan plastik kemasan produk industri, baik makanan, minuman, farmasi, minyak, kimia, dan sebagainya tidak dapat dipisahkan dari produk yang dikemas di dalamnya.
“Jadi melarang peredaran plastik kemasan produk berarti melarang peredaran produk yang dikemas dalam plastik kemasan tersebut,” katanya.
Baca: Seperti Rokok, Cukai Kantong Plastik Jadi Pajak Tidak Langsung ke Konsumen
Persoalan utama sampah plastik di Indonesia sebenarnya adalah belum adanya pengelolaan yang baik.
"Padahal dari sisi peraturan perundangannya sebetulnya sudah sangat lengkap, dan tinggal impementasinya saja yang kurang," katanya.
Pengaturan terhadap sampah itu harus mengacu pada UU Nomor 18 Tahun 2008, dan PP No.81 Tahun 2012 yang menggunakan pendekatan pengelolaan.
Jadi bukan pendekatan dengan larangan sektoral (masing-masing Kementerian) maupun mutlak seperti diatur dalam Pasal 11 Peraturan Wali Kota Bogor nomor 61 tahun 2018.
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah disebutkan bahwa pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.
Baca: Penerimaan dari Cukai Kantong Plastik Bakal Dialokasikan untuk Pengelolaan Limbah Sampah
Pemerintah dan pemerintah daerah bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan.
Tugas pemerintah dan pemerintahan daerah adalah memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan upaya pengurangan, penanganan, dan pemanfaatan sampah, serta melakukan koordinasi antarlembaga pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah.
Begitu pula dengan apa yang termuat dalam PP No.81 tahun 2012 Pasal 4 yang menyebutkan bahwa pemerintah menetapkan kebijakan dan strategi nasional dalam pengelolaan sampah.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ITB, dan Solid Waste Indonesia (SWI) terhadap laju daur ulang sampah plastik, Indonesia sudah melakukan 62% daur ulang botol plastik.
Angka tersebut bahkan terbilang tinggi jika dibandingkan dengan negara besar seperti Amerika yang hanya 29%, dan rata-rata Eropa 48%.
Baca: Banyak Artis Jadi Korban Mulut Sampah Rey Utami dan Pablo Benua, Ini 4 Namanya
Jika pelarangan terhadap plastik kemasan ini terus berlanjut, hal itu akan sangat berdampak terhadap perekonomian Indonesia.
Karena, mau tidak mau, itu akan sangat berdampak terhadap industri yang banyak menggunakan wadah dari plastik.
Salah satunya adalah industri makanan dan minuman (mamin) yang memberikan kontribusi yang tinggi terhadap PDB Non Migas Indonesia.
Apindo juga melihat perlunya kehadiran Pedoman Cara Produksi Kemasan Pangan Plastik Poly Ethylene Terephtalate (PET) Daur Ulang Yang Baik dari pemerintah, dalam hal ini Kemenperin.
“Pedoman itu tidak hanya akan mendukung komitmen kami pelaku industri kemasan plastik, tetapi akan memotivasi industri lain untuk menggunakan kemasan PET daur ulang sehingga dapat mengurangi timbunan sampah plastik kemasan,” kata Rachmat.
Direktur Industri, Kimia Hilir dan Farmasi Kemenperin Taufik Bawazier kesimpulan bahwa persoalan utama di Indonesia bukan pada masalah penggunaan plastiknya, tapi pada pengelolaan sampah plastik yang masih sangat buruk.
Padahal sampah plastik ini sebenarnya memiliki nilai ekonomi yang bisa menghidupi jutaan masyarakat.