Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik Said Salahuddin melihat belum ada satupun partai politik (parpol) dan unsur DPD bersepakat membuat paket pimpinan MPR.
Meskipun, kata dia saat ini telah ramai terjadi persaingan di antara parpol untuk menjadi Ketua MPR.
Hal itu disampaikannya dalam Diskusi Empat Pilar MPR RI bertajuk 'Membangun Koalisi Permanen di Parlemen', di Media Center Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (12/7/2019).
"Pertanyaannya apakah hanya satu paket? Karena saya khawatir dan ragu pimpinan MPR akan dipilih lewat musyawarah mufakat. Itu saya ragu. Kalau umpamanya dari partai ada keinginan, misal PKB, Golkar dan Nasdem, siapa yang mau mengalah untuk jadi ketua MPR, karena incarannya itu kan ketua. Posisinya di mana DPD? Boleh jadi ditawarkan teman-teman DPR untuk DPD sebagai Wakil Ketua MPR," katanya.
Baca: Pemberian Amnesti Untuk Baiq Nuril Dinilai Jadi Angin Segar Bagi Kesetaraan Gender di Indonesia
Baca: Polri Sebut Temuan TGPF Berkaitan dengan Barang Bukti dan Motif Penyerangan Terhadap Novel Baswedan
Baca: Tips Membeli Tiket Damri Bandara Secara Online
Ia pun mengusulkan unsur DPD menjadi Ketua MPR untuk mencegah perselisihan parpol memperebutkan tahta tertinggi di MPR.
"Selama 3 periode DPD belum pernah menjadi Ketua MPR. Bisa saja ke depan unsur ketuanya dari DPD. DPD bisa mengambil disela ketegangan antar partai," jelasnya.
Selain itu, ia menilai DPD pasti akan memperhitungkan cara untuk mendapatkan kursi Ketua MPR.
"DPD pastinya mulai berhitung, 3 periode enggak jadi Ketua MPR, karena enggak ada larangan juga Ketua MPR dijabat dari anggota DPD. Jika terjadi koalisi ini, tak bisa dikaitkan sebagai partai pendukung koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin," katanya.
Koalisi kebangsaan
Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono menilai koalisi yang harus dibangun di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah koalisi kebangsaan.
Ia mengatakan di lembaga itu lah kepentingan-kepentingan bangsa dapat diwujudkan tanpa adanya kepentingan pribadi.
Baca: NasDem : Partai Koalisi Indonesia Kerja Cukup Kuat Memenangkan Paket Pimpinan MPR
Hal tersebut disampaikannya dalam Diskusi Empat Pilar MPR RI bertajuk 'Membangun Koalisi Permanen di Parlemen', di Media Center Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (12/7/2019).
"Dalam konteks MPR saya sangat setuju koalisi yang paling baik di MPR adalah koalisi kebangsaan," ujarnya.
Menurutnya, MPR merupakan lembaga yang menghasilkan keputusan di atas DPR dan DPD.
Karena itu, ia menilai seharusnya sudah tak ada lagi pro dan kontra di MPR karena telah menyangkut kepentingan bangsa.
Bukan lagi soal kubu pemerintah ataupun kubu oposisi.
"Di sana tidak ada lagi pro dan kontra di luar kebangsaan itu karena yang diputuskan oleh MPR adalah hal-hal bersifat yang di atas baik DPR maupun DPD misalnya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar atau konstitusi dan kepentingan-kepentingan lain," jelasnya.
Kendati demikian, anggota kelompok DPD di MPR ini menilai masih sulit untuk mewujudkan koalisi kebangsaan.
Baca: Rumah Anggota DPR Fraksi PAN Digeledah KPK Terkait Suap Ketua DPRD Tulungagung
Mengingat, pimpinan MPR juga diperebutkan oleh para partai politik yang memiliki kepentingan masing-masing.
"Tetapi menurut saya pasti tidak lepas dari kepentingan politik, siapapun individu, partai manapun pasti berkeinginan untuk duduk sebagai pimpinan atau Ketua MPR," pungkasnya.
Pimpinan MPR selanjutnya punya tugas amandemen UUD
Anggota MPR dari Fraksi PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno berharap Pimpinan MPR mendatang harus bisa menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi dan mengembalikan kewenangan MPR untuk menyusun haluan negara.
"Tugas kita sampai tahun 2024 adalah mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara minus kewenangan untuk memilih Presiden sebagai mandataris," kata Hendrawan dalam dalam diskusi Empat Pilar MPR dengan tema “Menjaga Politik Kebangsaan, Layakkah Semua Fraksi di Kursi Pimpinan MPR?” di Media Center, Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (8/7/2019).
Baca: Soal Menteri dari Kaum Muda, Jokowi Dinilai Sejalan dengan Bung Karno
Diskusi juga menghadirkan narasumber anggota MPR dari Fraksi Partai Demokrat H Mulyadi dan pakar hukum tata negara Margarito Kamis.
Selain itu, Hendrawan juga mengungkapkan pentingnya haluan negara. MPR sudah melakukan kajian soal haluan negara.
Ketua MPR juga sudah mengumumkam pembentukan dua panitia ad hoc, yaitu PAH I mengenai haluan negara yang dipimpin oleh Ahmad Basarah dan PAH II tentang rekomendasi MPR yang dipimpin Rambe Kamarulzaman
"Oleh sebab itu, kita cari paket pimpinan MPR yang bertekad melakukan amandemen terhadap UUD NRI Tahun 1945," tuturnya.
Salah satu rekomendasi MPR periode lalu (2009 - 2014) adalah mengkaji sistem ketatanegaraan Indonesia sekaligus melakukan langkah-langkah melakukan amandemen UUD.
Untuk jumlah pimpinan MPR, Hendrawan mengatakan sebaiknya mengikuti UU yang sudah ada, yaitu UU No. 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua UU MD3.
Dalam UU itu disebutkan Pimpinan MPR terdiri dari satu orang ketua dan empat orang wakil ketua yang dipilih dalam satu paket. “Kita jalankan saja UU ini karena sudah jelas,” katanya
Sementara itu anggota MPR dari Partai Demokrat, Mulyadi mengatakan tidak ada formula dan ketentuan yang mengatur lima pimpinan mpr dari fraksi apa saja. Tidak ada yang baku siapa yang layak sebagai ketua MPR.
Dia mencontohkan pada 2009 ketika Partai Demokrat menjadi pemenang pemilu, kursi pimpinan MPR diserahkan ke PDI Perjuangan, Almarhum Taufiq Kiemas. Penyerahan kursi ketua MPR itu merupakan bagian dari distribusi kekuasaan.
“Sebaiknya yang sudah mendapat kursi di DPR, tidak lagi mendapat kursi di MPR. Pimpinan MPR diprioritaskan pada partai yang belum mendapat kursi di pimpinan DPR. Ini bagian dari distribusi kekuasaan,” kata Mulyadi.
Soal layak atau tidak layak semua fraksi mendapat kursi pimpinan MPR, Mulyadi menilai pemilihan pimpinan lembaga dewan, termasuk MPR, adalah persoalan politik terkait dengan keinginan-keinginan partai. Sehingga terjadi negosiasi-negosiasi di antara partai supaya tidak terjadi kegaduhan.
“Dalam hal ini, Partai Demokrat mengalir saja. Kita lihat situasi dan kondisi atau pandangan fraksi nanti,” ujarnya.
Narasumber lain pakar hukum tata negara Margarito Kamis berpendapat pemilihan pimpinan MPR bukanlah persoalan hukum melainkan soal politik.
Untuk menjaga atmosfir kebangsaan dan kehidupan bernegara, Margarito mengatakan DPR dipimpin oleh ketua dari kalangan nasionalis, sedangkan MPR dipimpin oleh ketua dari kalangan agama.
“Kalau ketua DPR dari kelompok nasionalis, maka masuk akal jika ketua MPR dari kelompok agama,” katanya.
Baca: Calon Pimpinan DPR dari NasDem Tunggu Hasil Rapat DPP
Anggota DPD dan DPR miliki hak duduki kursi pimpinan MPR
Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menilai setiap anggota DPR dan DPD memiliki hak untuk mengisi semua jabatan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui jalur konstitusi.
Meskipun dalam praktiknya, selama ini masih dalam kewenangan fraksi masing-masing partai politik.
Baca: Kasus Ikan Asin Fairuz Masuk Media Internasional, Penulis Beri Pesan Penting utnuk Galih Ginanjar
Baca: Update Jadwal Laga dan Jam Tayang Indonesia Open 2019 di Trans7, Babak Final Mulai Pukul 14.00 WIB
Baca: Jelang Lawan Persija, Robert Alberts Kaitkan Rapuhnya Pertahanan Persib dan Kondisi Fabiano Beltrame
Hal itu dikatakannya dalam diskusi Empat Pilar MPR bertajuk 'Menjaga Politik Kebangsaan, Layakkah Semua Fraksi di Kursi Pimpinan MPR?', di Media Center Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (8/7/2019).
Ia mengatakan berdasarkan pengalaman sebelumnya, anggota yang mengisi kursi pimpinan tidak harus partai politik pemenang pemilu.
Baca: KPK Belum Terima Laporan Tim Gabungan Bentukan Polri Terkait Kasus Penyerangan Novel Baswedan
Tapi, partai politik yang kalah pun kata Margarito bisa menguasai kursi pimpinan baik di DPR ataupun di MPR.