TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penggunaan istilah “ ikan asin” yang dilontarkan pemain sinetron Galih Ginanjar dalam video di akun YouTube Rey Utami beberapa waktu lalu berbuntut panjang.
Kasus ini berawal dari sebuah video yang diunggah oleh Rey Utami.
Dalam video tersebut, artis Galih Ginanjar menjadi bintang tamu.
Galih diduga melontarkan kata-kata tak pantas yang ditujukan untuk mantan istrinya, Fairuz A Rafiq.
Pernyataan Galih yang mengundang polemik, di antaranya ada istilah "ikan asin".
Baca: Pengacara Beberkan Chat Barbie Kumalasari dan Rey Utami, Fakta Baru Kasus Bau Ikan Asin Terungkap
Baca: Galih Ginanjar dalam Kasus Ikan Asin, Tolak Tandatangani Surat Penahanan dan Jalani Tahanan 20 hari
Video ini pun akhirnya viral dan menimbulkan polemik hingga sampai ke jalur hukum.
Galih, Rey Utami, dan suaminya Pablo Benua ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Penggunaan istilah "ikan asin" dianggap melecehkan perempuan secara verbal.
Melanggar kesusilaan
Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, mengatakan, penggunaan istilah “ikan asin” dalam konteks percakapan di video tergolong pelanggaran asusila.
Menurut dia, hal itu tidak sepantasnya dilakukan oleh siapa pun dan di mana pun, apalagi disampaikan di ruang publik oleh mereka yang pernah terikat dalam ikatan perkawinan.
“Kita semua kan perlu punya budi pekerti yang baik. Tidak boleh menghina orang lain. Sebaiknya sih tidak dilakukan sama sekali ujaran itu, mau di hadapan publik atau tidak,” kata Mariana Amiruddin kepada Kompas.com, Jumat (12/7/2019).
Ia mengatakan, cara seperti ini, menyerang ranah seksual, biasa digunakan untuk membalaskan dendam pribadi dan menjatuhkan harga diri seorang perempuan.
“Budaya kita tahu betul cara menghancurkan martabat perempuan adalah dengan menghinanya secara seksual. Misal mengatakan pelacur atau menyebut dengan menghina organ-organ seksualnya atau dengan mempermalukannya di hadapan publik dalam ujaran-ujaran tersebut,” ujar dia.
Pelecehan secara verbal Selain melanggar kesusilaan, penggunaan kata “ikan asin” untuk menggambarkan organ intim wanita juga sudah masuk dalam kategori pelecehan seksual.
Istilah ini dianggap melecehkan karena maksud dan tujuan di balik pemilihan kata itu untuk merendahkan martabat perempuan.
“Ucapannya itu (ikan asin) merendahkan harkat martabat perempuan. Masuk kategori pelecehan seksual kan ini, menyasar atribut seksual,” kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyuni saat dihubungi secara terpisah, Jumat.
Budi menjelaskan, dalam analogi fisiologi tubuh seorang perempuan memang terdapat bagian-bagian tertentu yang mudah lembab hingga menimbulkan efek seperti mengeluarkan bau atau cairan dan tumbuh jamur.
Sebenarnya terdapat banyak istilah yang dapat diartikan sebagai bentuk pelecehan seksual, baik yang sudah populer maupun tidak.
“Istilahnya bisa apa saja, tetapi ini kan memadankan situasi bau yang tidak sedap seperti ikan asin baunya,” ujar dia.
Oleh karena itu, meski tindakan ini tidak melibatkan sentuhan langsung secara fisik, tetap tergolong bentuk pelecehan seksual.
Akan tetapi, pelecehan seperti ini belum memiliki payung hukum yang dapat melindungi korban dan memidanakan pelaku.
Padahal, menurut Budi, pelecehan seksual di Indonesia banyak yang terjadi di ranah ini, misalnya melalui pandangan, perkataan, atau yang lain.
Oleh karena itu, kasus Galih Ginanjar tidak menggunakan pasal pelecehan seksual, melainkan dijerat dengan pasal lain terkait informasi transaksi elektronik (ITE) karena disebarkan lewat media sosial.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) Pelecehan terhadap perempuan, khususnya dalam ranah seksual, bisa terjadi dengan berbagai macam cara, seperti melibatkan kontak fisik secara langsung ataupun tidak.
Akan tetapi, sistem hukum di Indonesia belum memayungi kasus-kasus pelecehan yang terjadi tanpa melibatkan sentuhan fisik.
Hal itu merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) yang mendefinisikan pencabulan sebatas pada tindakan fisik secara langsung.
Kondisi ini menyebabkan banyak tindak pelecehan seksual yang tidak melibatkan sentuhan fisik lolos dari jerat hukum dan menyisakan perempuan sebagai korban.
“Pelecehan seksual yang tidak bersentuhan fisik atau non body contact itu sebenarnya bisa, tapi enggak ada pasalnya yang mampu memidanakan perbuatan itu,” kata Budi.
Merespons hal ini, Komnas Perempuan telah melakukan berbagai upaya, salah satunya menyusun Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan mendesak pemerintah untuk segera mengesahkannya.
“Saya menegaskan pentingnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan agar kasus seperti ini bisa tertangani dengan baik karena kalau tidak, larinya ke ITE terus,” ujar Budi.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Istilah “Ikan Asin” dan Pelecehan Verbal terhadap Perempuan...",
Penulis : Luthfia Ayu Azanella