TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Bawaslu RI Fritz Edward Siregar menyebut dalam sistem peradilan di Indonesia, Mahkamah Konstitusi tidak memiliki budaya kecil atau little culture yang berfungsi memberikan keseimbangan alias check and balances.
Ia bisa mengatakan demikian lantaran berangkat dari pengalamannya menjadi bagian dari generasi pendiri Mahkamah Konstitusi sebagai Asisten Hakim Maruarar Siahaan.
"Kita nggak mempunyai little culture yang bisa memberikan check and balances kepada Mahkamah Konstitusi," kata Fritz dalam diskusi Forum Politik dan Kebijakan Publik CSIS, di Gedung Pakarti Centre, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (25/7/2019).
Karena menurutnya, ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan kebijakan tentang suatu hal, tak ada pihak luar yang bisa membalas atau memberikan pengawasan keseimbangan terhadap argumen-argumen mereka.
"Jadi pada saat MK nya tidak sesuai dengan yang kita inginkan maka kita gabisa membalasnya atau tidak bisa memberikan balances kepada argumen-argumen yang disampaikan," jelas Fritz.
Baca: Warga Binaan Lapas Gunung Sindur Cuci Kaki Orang Tua
Apalagi, sambung Fritz, ada sebuah istilah yakni honeymoon a period yang melekat pada Mahkamah Konstitusi bahwa orang-orang dilingkup lembaga peradilan tersebut diisi dengan seluruh sarjana hukum dan profesor bidang hukum.
Sehingga menurutnya tak ada orang lain yang bisa menyandingkan argumentasi mereka dengan argumentasi milik Mahkamah Konstitusi.
Baca: Inilah Pengakuan Pemerkosa Ibu Muda yang Sedang Menyusui Anaknya di Musi Rawas
"Artinya nggak ada orang lain yang punya compiting argumen selain Mahkamah Konstitusi, karena seluruh sarjana hukum tata negara profesornya ada di MK," ucap dia.