TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Ketahanan nasional memang ditentukan oleh kondisi dinamis bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam. Namun pada awalnya, kondisi dinamis itu berawal dan terkait erat dengan mulut. Yang pertama, dari pengalaman Pilpres 2019, bangsa Indonesia telah belajaran bahwa ujaran kebencian yang keluar dari mulut yang disebarkan melalui medsos terbukti mengancam persatuan Indonesia. Yang kedua terkait dengan makanan (kuliner), mencintai makanan tradisional Indonesia merupakan kunci pertama untuk mewujudkan ketahanan nasional yang harus dilakukan oleh pelaku dunia pariwisata termasuk di dalamnya para mahasiswanya.
Demikian ditegaskan oleh Alumnus Lemhannas PPSA XXI, AM Putut Prabantoro di hadapan 500 ratus lebih mahasiswa Politeknik Pariwisata Medan (Poltekpar Medan) di Medan, Kamis (25/07/2019). Hadir juga dalam acara tersebut, Staf Ahli Kementerian Pariwisata Bidang Ekonomi dan Kawasan Pariwisata Dr. Anang Sutono MM.Par, CHE sebagai pembicara lain dan jajaran pimpinan Poltekpar Medan lainnya termasuk, Direktur Poltekpar DR Anwar Masatip MM.Par serta jajaran pimpinan lainnya.
Menurut AM Putut Prabantoro dunia pariwisata Indonesia tidak dapat tinggal diam terkait dengan menurunnya rasa cinta generasi baru Indonesia terhadap makanan-makanan tradisional Indonesia. Generasi baru ini lebih menyukai, demikian Putut Prabantoro menjelaskan, makanan cepat saji yang berasal dari negara asing. Karena berkurang peminatnya, pembuat makanan tradisional Indonesia juga tidak merasa perlu membuat kembali.
“Jika kita tidak mencintai makanan tradisional Indonesia, dan lebih memilih makanan dari budaya asing terutama Eropa, Amerika, Jepang atau Korea, cepat atau lambat makanan tradisional kita akan hilang dari Indonesia dalam waktu yang tidak lama. Ada 5300 jenis makanan tradisional Indonesia yang harus diselamatkan karena itu juga merupakan budaya leluhur bangsa yang bersumber dari kekayaan alam Indonesia,” ujar Putut Prabantoro, yang berprofesi sebagai konsultan komunikasi publik.
Memulai paparannya, Putut Prabantoro melakukan tanya jawab tentang sejauh mana para mahasiswa mengenal makanan tradisional Indonesia. Ternyata para mahasiswa pariwisata lebih mengenal makanan asing seperti spagetti, hamburger, pizza ataupun kebab daripada mengenal makanan tradisional Indonesia yang berasal dari berbagai daerah.
“Indonesia terdiri dari 17.504 pulau dengan berbagai latar belakang budayanya. Untuk jenis soto saja, kita mengenal dari berbagai daerah seperti soto Medan, Soto Padang, Soto Betawi, Soto Madura, Soto Kudus, Soto Lamongan, Soto Banjar dll yang masing-masing soto mempunyai cerita sendiri-sendiri. Demikian pula dengan berbagai makanan kecil seperti kue mayang, jadah, tiwul, gatot, gebleg, papeda, sop konro, coto makasar, gudeg, panada, timlo dll perlu dijelaskan awal budayanya yang juga merupakan obyek pengetahuan pariwisata lokal,” ujar Putut Prabantoro.
Berbagai macam makanan tradisional Indonesia, diuraikannya lebih lanjut, ada karena kayanya sumber makanan dan tumbuhan yang ada di Indonesia dan tidak ada di negara lain. Seperti rempah-rempah tidak ada di Eropa. Karena kebutuhan pasar, budi daya tumbuhan asli Indonesia akhirnya dilakukan. Namun dengan berkurang minat terhadap makanan tradisional Indonesia, orang merasa tidak perlu lagi melakukan budi daya tumbuhan asli Indonesia yang merupakan bahan untuk makanan tradisional Indonesia. Sebagai akibat adalah, Indonesia akan mengimpor bahan makanan yang tidak ada di Indonesia untuk memenuhi tuntutan kebutuhan material dasar atau bahan dasar pembuat makanan nontradisional Indonesia.
“Adalah penting bagi mahasiswa pariwisata dan pelaku usaha untuk berkomitmen mencintai dan memelihara makanan tradisional Indonesia. Ketahanan nasional tidak mungkin akan terwujud jika bangsa Indonesia mengimpor bahan pangan berupa hasil tanaman yang tidak hidup dalam iklim Indonesia. Makanan tradisional Indonesia merupakan salah satu kekayaan kuliner Indonesia yang merupakan obyek pariwisata. Jika kita impor bahan pangan lebih besar dari yang dihasilkan, berarti ketahanan nasional di bidang pangan tidak tercapai. Dan ini akan memengaruhi ketahanan di bidang lain, ujar Putut Prabantoro yang juga Ketua Pelaksana Gerakan Ekyastra Unmada (Semangat Satu Bangsa).
Berbagai jenis tumbuhan yang merupakan bahan dasar makanan tradisional Indonesia dapat tumbuh karena Indonesia memiliki tanah subur yang merupakan akibat terletak di kawasan cincin api (ring of fire). Budaya yang muncul di Indonesia tidak dapat terlepas dari berbagai macam makanan tradisional Indonesia yang merupakan piranti bagi upacara-upacara adat, yang juga merupakan obyek pariwisata.
Lebih jauh diuraikan, dengan mencintai makanan tradisional Indonesia yang berakibat pada tingginya tingkat permintaan, secara tidak langsung kondisi itu akan menggerakan roda ekonomi daerah atau rumah tangga, mengurangi angka pengangguran, dan sekaligus menyelamatkan lingkungan hidup. Namun Putut Prabantoro juga mengingatkan bahwa, Indonesia merupakan negara penyampah makanan nomor 2 (dua) di dunia karena membuang-buang makanan.
“Diperkirakan 1 orang membuat sampah makanan 300 kg per tahunnya atau membuang Rp 27 triliun jika sampah makanan dari seluruh penduduk Indonesia ditotalkan. Padahal jumlah ini dapat memberi konsumsi 28 juta orang per tahunnya. Oleh karena itu jangan menyia-nyiakan makanan dan ingat banyak orang tidak makan. Sudah barang tentu, sampah makanan ini sangat mengganggu daya tarik pariwisata Indonesia yang seharusnya menawarkan kebersihan dan kenyamanan,” tegas Putut.
Di akhir presentasinya, Putut Prabantoro menandaskan, selain menghindari ujaran kebencian, mencintai makanan tradisional Indonesia, para pelaku pariwisata termasuk para mahasiswanya harus bersih dari narkoba. Narkoba merupakan ancaman serius terhadap masa depan Indonesia dan ketahanan nasionalnya. Bahkan, Indonesia tidak dapat mewujudkan bonus demografi tahun 2045 jika jumlah pengguna narkoba tidak menurun mengingat prosentase terbesar pengguna berasal dari kelompok muda yakni SMA dan mahasiswa.