Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) memberikan teguran keras pada Pemerintah dan Pertamina atas kelalaian yang menyebabkan kebocoran minyak bumi oleh Pertamina Hulu Energi (PHE), Offshore North West Java (ONWJ) di perairan Karawang, Jawa Barat.
Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati Romica memberikan catatan terkait bencana industri di lepas pantai utara Jawa Barat itu.
Baca: Ada Tumpahan Minyak Pertamina, Petani Garam Tak Panen Selama Seminggu
Sebab, sejak 12 Juli 2019 lalu, kebocoran pipa pertamina itu tak bisa diselesaikan dengan cepat dan berimbas tercemarnya laut dan merugikan nelayan sekitar perairan laut Jawa.
Susan menyebut, pemerintah dan pertamina gagal dalam menegakkan batas-batas wilayah berbahaya bagi warga, di daratan maupun perairan yang terdekat dari Anjungan YYA-1 Pertamina.
"Gagal memperkecil risiko keselamatan warga sekitar akibat keterpaparan pada Tar Balls (gumpalan minyak mentah), udara tercemar, dan konsumsi biota Iaut dari wilayah disekitar anjungan YYA-1 Pertamina," kata Susan dalam keterangan pers 'Bencana Industri dan Derita Warga Nelayan Karawang' di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (29/7/2019).
Selain itu, Susan menyebut, pertamina gagal mengevakuasi warga dari desa-desa terdekat, dengan akibat bahwa sampai dengan hari keempat belas setelah terjadinya semburan liar.
Bahkan, warga harus bertahan 24 Jam sehari dalam keadaan sakit kepala, sesak nafas, gatalgatal, kulit terasa panas dan sebagainya, yang merupakan gejala ikutan dari keterpaparan terhadap zat-zat berbahaya terutama di udara.
"Alih-alih melakukan tindakan penanggulangan secara profesional dengan kontraktor berpengalaman dan punya Iisensi untuk mengatasi kasus semacam itu, pihak operator dan regulator melakukan mobilisasi warga untuk melakukan pengumpulan minyak mentah tanpa memenuhi syarat keselamatan manusia," ungkap Susan.
Baca: Soal Koalisi, Tokoh Senior Demokrat Nilai Tak Bisa Semua Parpol Dukung Pemerintah
Ia pun mengatakan, bencana tersebut belum teratasi sumbernya, dan setiap hari atau 24 jam sehari warga terdekat terus terpapar pada udara, air dan besar kemungkinansumber sumber protein hewani dari daratan dan perairan pesisir yang tercemar.
"Maka KIARA dan JATAM Nasional mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk mengambilIangkah langkah darurat yang meskipun terlambat tapi harus dilakukan," jelasnya.
Kata Pertamina
Direktur Pertamina Hulu Energi (PHE), Dharmawan H Samsu mengatakan kebocoran minyak di sumur YYA-1 di Blok Migas ONWJ (Offshore North West Java) yang terjadi sejak 14 Juli 2019 tidak berpotensi sebagai bencana nasional.
Menurutnya, pemerintah pusat menyebut kejadian tersebut masih bisa dikendalikan oleh Pertamina selaku operator dari penambangan minyak bumi di sumur tersebut.
Baca: Pertamina Sebut Penanganan Sumur Minyak Bocor di Blok ONWJ Selesai 7-8 Minggu
“Dari kementerian terkait mengatakan peristiwa ini masih dalam kendali dan hingga saat ini terus dilakukan energy isolation agar tumpahan minyak dan gas bumi atau oil boom tak mencapai pantai yang menyebabkan dampak bagi masyarakat,” ungkapnya di Jakarta, Jumat (26/7/2019).
Dharmawan mengatakan pihaknya sudah melakukan langkah-langkah pembersihan tumpahan minyak dengan mengerahkan 27 kapal baik di lautan maupun pembersihan minyak yang sudah mencapai pesisir Karawang.
Ia juga mengatakan Pertamina melibatkan masyarakat termasuk nelayan dalam hal pembersihan minyak dengan pemberian sejumlah kompensasi.
Pertamina juga mendapatkan bantuan dari sejumlah pihak dalam penanganan tumpahan minyak ini seperti SKK Migas, Kementerian ESDM, Kementerian LHK, Pemerintah Daerah, Dinas Lingkungan Hidup Daerah, TNI dan Kepolisian, Kementerian Perhubungan Ditjen Perhubungan Laut, KSOP, KKP, Pushidros AL, KKKS dan berbagai instansi lainnya.
“Kami juga mendapatkan bantuan Giant Octopus Skimmer dari Singapura untuk menyedot tumpahan minyak. Minyak yang tumpah ini akan dikelola menjadi limbah dan sedang dalam kajian,” imbuhnya.
Saat ini menurutnya Pertamina sudah meminta bantuan perusahaan asal Amerika Serikat, Boots & Coots untuk melakukan penutupan sumur minyak di anjungan YYA-1 tersebut.
Dharmawan menjelaskan perusahaan tersebut berpengalaman menangani kasus dengan dampak lebih besar yang pernah terjadi di Teluk Meksiko yang dikenal dengan Deepwater Horizon.
“Sejak tanggal 14 Juli 2019 kami sudah hubungi Boots & Coots dan saat ini mereka sudah berada di PHE Tower dan akan berangkat ke lokasi besok Minggu (28/7/2019) setelah rig Soehanah dipasang untuk membantu penutupan sumur, jadi rencana aksi sudah dilakukan dan diperkirakan memakan waktu 7-8 minggu sampai sumur ditutup,” ungkapnya.
Dharmawan menjelaskan Boots & Coots nantinya akan melakukan penetrasi ke sumur minyak di anjungan YYA-1 untuk menembus langsung sumber kebocoran.
Setelah itu akan dilakukan pemompaan semen untuk dilakukan penutupan.
“Untuk memompa semen itu akan menghabiskan waktu 3 hari saja. Setelah itu sumur itu akan non-aktif dan kami akan melakukan kajian apakah blok migas itu tetap aman untuk dilakukan pembuatan sumur di lokasi lain ata tidak,” ungkapnya.
Dharmawan mengatakan pihaknya akan tetap berupaya memaksimalkan potensi minyak bumi dan gas alam di blok tersebut yang diperkirakan masih menyimpan cadangan 4 juta meter kubik minyak bumi.
Baca: BMKG Catat Gempa Bumi yang Terjadi di Mamasa dan Labuha Siang Ini Jumat (26/7/2019)
Saat ini sumur YYA-1 sendiri dapat memproduksi sekitar 3 ribu barel minyak bumi per hari.
Dia memastikan bahwa kejadian kebocoran sumur minyak bumi ini tak separah jika dengan kejadian Deepwater Horizon.