"Karena itulah penyidikan untuk SJN dan ITN tetap akan kita lakukan, jika ada upaya hukum lain, KPK akan menghadapinya," kata Febri.
Pengendali saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Terkait upaya pengembalian kerugian negara, Guru besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Gajah Mada, Edward Omar Sharif Hiariej, menilai secara teori putusan MA terhadap Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) telah selesai dari aspek pidananya.
"Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada teman-teman KPK dan menciutkan semangat pemberantasan korupsi, bagi saya secara teoretik putusan Kasasi atas SAT secara pidana close the case. Karena sudah putusan lepas. Artinya dia tidak dijatuhi hukuman pidana karena dia sudah putusan Kasasi," kata Eddy.
Meski begitu, Eddy mengatakan KPK masih bisa melakukan upaya gugatan perdata untuk berupaya mengembalikan kerugian negara sebanyak Rp 4,58 triliun.
Baca: KPK: Empat Tersangka Baru Megakorupsi e-KTP Berasal dari Birokrat dan Swasta
"Tetapi apakah apa yang disampaikan Febri (Kabiro Humas KPK) yang saya catat dengan tinta tebal, bagaimana dengan uang Rp 4,5 triliun? Kan UU Korupsi memberi pintu, bahwa apabila ada kerugian negara secara nyata putusan bebas dan putusan lepas tidak menghapuskan gugatan perdata. Silakan saja melakukan gugatan perdata. Karena ada kerugian negara secara nyata," kata Eddy.
Sebelumnya, Eddy menjelaskan bahwa dasar dari penilaiannya tersebut bukanlah putusan lengkap dari Mahkamah Agung terkait kasasi SAT.
Hal itu karena ia belum menerima dan membaca putusan itu secara lengkap.
Ia pun mengaku enggan mengomentari putusan MA terhadap SAT tersebut.
"Syarat untuk melakukan suatu anotasi atau eksaminasi kita harus membaca dulu dengan teliti mengenai apa isu putusan dan yang paling penting adalah mencermati apa pertimbangan Majelis sehingga sampai pada putusan yang demikian," kata Eddy.