TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan bukti adanya kerugian negara dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), maka gugatan yang bisa dilakukan adalah gugatan perdata.
Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) merujuk kepada putusan Mahkamah Agung 9 Juli 2019 yang melepaskan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT).
"Bahwa apabila ada kerugian negara secara nyata, putusan bebas, putusan lepas, tidak menghapuskan gugatan perdata. Silakan melakukan gugatan perdata," katanya.
Berbicara pada acara diskusi publik bertajuk "Vonis Bebas MA Terhadap Syafruddin: Salah Siapa, MA atau KPK?" yang diselenggarakan MMD Initiative di Jakarta Rabu siang, Prof. Hiariej menjelaskan bahwa di dalam perkara pidana itu ada asas yang berbunyi res judicata in criminalibus atau setiap perkara pidana itu harus ada akhirnya atau ujungnya.
Baca: Pria 37 Tahun Tewas Mengenaskan dalam Kecelakaan Motor di Flyover, Badan dan Kepalanya Terpisah
Baca: Sebentar Lagi Bebas & Rumah 3,5 M Terjual, Syaiful Jamil akan Balas Dendam dengan Rekan Sesama Artis
Baca: Masalah Capricorn & Emosi Scorpio, Inilah Ramalan Zodiak Hari Ini Kamis 1 Agustus 2019
"Saya tidak lihat fakta persidangan, tidak melihat apapun, tapi saya mau berbicara secara teoritik. Bahwa dalam perkara pidana ada asas yang berbunyi res judicata in criminalibus. Jadi perkara pidana itu harus ada akhirnya. Harus ada ujungnya."
Guru besar yang akrab disapa Eddy Hiarej juga menerangkan bahwa secara teoritik vonis hakim Mahkamah Agung kepada Syamsudin Arsyad Tumenggung (SAT) sudah selesai dan tidak bisa lagi dilakukan peninjauan kembali (PK) oleh Jaksa. Sebab menurutnya secara aturan, Jaksa sudah tidak berhak melakukan PK pada putusan pengadilan tertinggi tersebut.
"Untuk SAT secara pidana close the case, sudah putusan lepas. Artinya dia tidak dijatuhi pidana, dan itu putusan pada kasasi," ungkapnya.
Sebelumnya, Mahkamah Agung memutuskan membebaskan Syafrudin Temenggung pada putusan kasasinya. Putusan itu tidak diambil dengan suara bulat, tiga orang hakim memiliki pendapat yang berbeda.
Syafruddin Temenggung sendiri mengajukan kasasi setelah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukumannya menjadi 15 tahun penjara dari vonis 13 tahun penjara yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu pada putusan sebelumnya dianggap terbukti merugikan negara sekitar Rp 4,58 triliun terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Kerugian Negara Akibat BLBI Bisa Dikembalikan, Ini Saran untuk KPK