News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Belajar dari Kasus Dokter Romi, HWDI Desak Pemerintah Bentuk Komisi Nasional Disabilitas

Penulis: Rizal Bomantama
Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dokter Romi Syofpa Ismae saat ditemui di Kantor HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia) di Menteng Square Apartement, Senen, Jakpus, Kamis (1/8/2019) siang

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rizal Bomantama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pihak dokter gigi Romi Syofpa Ismae belum mau membawa kasus penganuliran kelulusan dirinya sebagai CPNS (Calon Pegawai Negari Sipil) di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat.

Meski begitu, pihak HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia) melalui Ketua Umumnya Maulani Rotinsulu akan membawa kasus dokter Romi untuk mendesak pembentukan Komisi Nasional Disabilitas.

Hal itu disampaikannya saat bertemu dengan dokter Romi di di Kantor HWDI di Menteng Square Apartement di Senen, Jakpus, Kamis (1/8/2019).

“Kami akan melanjutkan desakan bahwa kasus dokter Romi menjadi bentuk kelemahan implementasi dari UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan kami menuntut dibentuknya Komisi Nasional Disabilitas sebagai lembaga monitor dan evaluasi implementasi UU tersebut,” ungkap Maulani.

Menurut Maulani komisi tersebut berfungsi untuk menindaklanjuti masalah-masalah seperti yang dialami dokter Romi yaitu diskriminasi atas kaum difabel.

Baca: Penyerapan Pekerja Disabilitas Masih Minim - Disabilitas Dilarang Bekerja (2)

Karena menurutnya selama ini banyak pihak yang memiliki wewenang tak mampu menyelesaikan kasus-kasus serupa sebelumnya.

“Kami kira lembaga tersebut penting melihat selama ini banyak korban diskrimasi terutama kaum difabel yang terkatung-katung tak menemukan penyelesaian. Dan belum ada lembaga yang memberikan nasehat yang layak untuk korban,” pungkas Maulani.

Sementara itu Maulani juga mengatakan apa yang menimpa dokter Romi adalah sebuah diskriminasi dan melanggar hukum.

“Pembatalan kelulusan tersebut melanggar Pasal 45 UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menyebut pemerintah dan pemda wajib menjamin proses rekrutmen, penerimaan, pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan pengembangan karir tanpa adanya diskriminasi kepada penyandang disabilitas,” ungkap Maulani Rotinsulu.

Sementara itu Yeni Rosa Damayanti dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) mengatakan pemerintah memiliki cara pandang salah dalam perekrutan penyandang disabilitas untuk CPNS.

“Kuota dua persen untuk penyandang disabilitas dalam rekrutmen CPNS adalah ‘affirmative action’ dengan syarat-syarat tertentu supaya mereka memiliki hak sama. Namun pemerintah tak boleh melarang seorang disabilitas untuk mengikuti seleksi formasi umum,” jelas Yeni Rosa.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini