TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa mantan anggota DPR RI, Markus Nari, merintangi proses hukum perkara korupsi proyek Pengadaan Paket Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional (KTP Elektronik) Tahun 2011-2012.
JPU pada KPK, Ahmad Burhanudin, mengatakan terdakwa telah sengaja mencegah atau merintangi secara langsung atau tidak langsung pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap saksi Miryam S. Haryani dan terdakwa Sugiharto dalam perkara tindak pidana korupsi proyek Pengadaan Paket Penerapan KTP Elektronik tahun 2011-2012 pada Kementerian Dalam Negeri atas nama Irman dan Sugiharto.
"(Terdakwa,-red) dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi," kata dia, saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (14/8/2019).
JPU pada KPK menjelaskan perbuatan Markus Nari itu dilakukan dengan cara mencegah atau merintangi secara langsung atau tidak langsung pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap saksi Miryam S. Haryani.
Terdakwa menjanjikan akan menjamin keluarga Miryam S. Haryani, terdakwa meminta Miryam S. Haryani memberikan keterangan yang tidak benar terkait keterlibatan Markus Nari dalam perkara tindak pidana korupsi proyek pengadaan paket penerapan KTP Elektronik Tahun 2011-2012 pada Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia atas nama Irman dan Sugiharto, terdakwa.
"Dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk orang lain untuk tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar sebagai saksi," ungkap JPU pada KPK.
Baca: Setya Novanto Belum Bayar Lunas Uang Ganti Rugi e-KTP, Apa Kata KPK?
Baca: Markus Nari Didakwa Perkaya Diri Rp 1,4 Juta Dollar AS di Kasus Korupsi KTP-el
Selama menjalankan aksinya, kata JPU pada KPK, Markus Nari meminta bantuan kepada Anton Taufik, orang kepercayannya. Pada 7 Maret 2017, terdakwa meminta Anton Tofik datang ke ruang kerjanya di Gedung DPR untuk memantau perkembangan persidangan perkara tindak perkara korupsi KTP Elektronik tersebut.
Atas upaya perbantuan itu, Anton Taufik menerima imbalan sebesar SGD10.000 dari terdakwa melalui Muhamad Gunadi als Gugun, sopir terdakwa.
Pada 9 Maret 2017, Anton Tofik melaporkan kepada terdakwa melalui telepon nama terdakwa disebut sebagai penerima aliran dana KTP Elektronik sebesar USD400,000.
Berselang tiga hari kemudian, terdakwa meminta Anton Tofik agar mendapatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) atas nama terdakwa dan Miryam S. Haryani dengan mengatakan, Atas permintaan tersebut, Anton Tofik menyanggupinya.
Melalui, Anton Tofik, Markus Nari meminta Miryam S. Haryani mencabut keterangan di sidang pengadilan. Terdakwa mengaku akan menjamin keluarga Miryam S. Haryani.
Akhirnya, pada 23 Maret 2017, Miryam S. Haryani mencabut keterangan dalam BAP-nya mengenai aliran dana proyek KTP Elektronik termasuk penerimaan oleh Terdakwa sebesar USD400,000.
Atas pencabutan keterangan Miryam S. Haryani tersebut, hakim mengingatkan agar Miryam S. Haryani memberikan keterangan yang benar di persidangan karena sudah disumpah.
Pada tanggal 5 April 2017, Miryam S. Haryani ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK melanggar Pasal 22 Jo. Pasal 35 ayat (1) UndangUndang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana dan perkara tersebut telah disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Selanjutnya Miryam S. Haryani dinyatakan bersalah dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam perkara Tindak Pidana Korupsi berdasarkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 89 /Pid.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST Tahun 2017 dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap.
"Perbuatan terdakwa tersebut merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 22 Jo. Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHPidana," tambah JPU pada KPK.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Markus Nari, anggota DPR RI periode 2009-2014, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi USD1,400,000, terkait proyek pengadaan pengadaan barang/jasa paket Penerapan KTP Elektronik Tahun Anggaran 2011-2013.
JPU pada KPK membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Rabu (14/8/2019).
"(Terdakwa,-red) melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu memperkaya terdakwa sebesar USD1,400,000," kata Ahmad Burhanudin, JPU pada KPK, saat membacakan surat dakwaan.