Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani, menilai wajar jika Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi terkait ukuran pemberantasan korupsi dianggap menyindir kinerja KPK.
Pasalnya, ia melihat lembaga antirasuah inilah yang dinilai paling heboh dalam penanganan kasus korupsi.
Diketahui, dalam Pidato Kenegaraan di Sidang Bersama DPR dan DPD, Presiden Jokowi menyatakan pemberantasan korupsi jangan hanya diukur dari jumlah kasus dan jumlah orang dipenjarakan, tetapi diukur dari berapa potensi korupsi yang bisa dicegah dan potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan.
"Saya sih melihat (pidato Presiden) untuk semuanya (penegak hukum). Tapi wajar kalau kemudian dihubungkan dengan KPK. Kenapa? Karena KPK kan selalu heboh ketika menangani perkara korupsi," ujarArsul di Jakarta, Rabu (21/8/2019).
Baca: Gubernur Lukas Enembe: Kenapa Tak Terjunkan Banser untuk Bela Mahasiswa Papua yang Dipersekusi
Menurut Arsul, pidato tersebut menunjukkan kegelisahan Presiden karena kehebohan penanganan korupsi oleh KPK tidak berbanding lurus dengan penyelematan aset negara oleh lembaga tersebut.
Baca: Alisa Wahid Kecewa, Cak Imin Sampai Saat Ini Tak Pernah Minta Maaf ke Keluarga Gus Dur
Apalagi, biaya penanganan per kasus oleh KPK disebutnya lebih besar dibandingkan dengan Polri dan Kejaksaan.
"Tidak bisa dipungkiri, (kegelisahan) ini juga yang dirasakan oleh Presiden. Terlebih anggarannya (KPK) lebih besar per satuan penanganan kasus korupsi dibanding dua penegak hukum yang lain," katanya.
Baca: Penuturan Ayam Kampus Kota Palembang: Terjerumus ke Dunia Kelam karena Pacar, Enggan Jadi Simpanan
Dia mengutip laporan 'Capaian dan Kinerja KPK Tahun 2018' yang dilansir website resmi KPK.
Misalnya tertulis pada 2018, KPK melakukan sebanyak 28 OTT atau yang terbanyak sepanjang sejarah berdirinya lembaga tersebut, dengan penyelamatan uang negara sebesar Rp 500 miliar.
Baca: Inilah Benny Wenda, Sosok yang Disebut Tokoh di Balik Rusuh Papua dan Kini Bermukim di Inggris
Namun anggaran yang diserap KPK di tahun yang sama, lebih besar dari uang negara yang diselamatkan yakni Rp 744,7 miliar.
Sementara, penyelamatan uang negara oleh Polri dari kasus korupsi jauh lebih tinggi dari KPK, yakni Rp 2,3 Triliun pada 2018. Kemudian di tahun yang sama, Kejaksaan menyelamatkan Rp 326 miliar.
Arsul menambahkan, Presiden ingin mengajak para pemangku kepentingan, baik penegak hukum maupun elemen masyarakat sipil, untuk sama-sama mengubah ukuran dan paradigma pemberantasan korupsi. Dari parameter memenjarakan sebanyak-banyakan dan seberat-beratnya orang, menjadi menyelamatkan sebesar-besarnya uang negara.
"Tidak berarti kemudian hukuman penjaranya diringankan. Tapi kalau kita cuma ramai dengan hukuman penjara, sementara melupakan aspek recovery (pengembalian) atau remedialnya (perbaikan), ya makanya korupsi tinggal korupsi," kata dia.
Arsul menilai, paradigma lama hukuman seberat-beratnya bagi pelaku korupsi selama ini terus ditanamkan oleh LSM ke benak masyarakat, tanpa pernah mempersoalkan aspek penyelematan atau pengembalian uang negara.
"LSM macam ICW itu kan selalu menyorotinya tentang berat ringannya hukuman pidana, bukan soal recovery-nya, bukan soal remedial atas kerugian negara itu. Karena hukuman berat itu katanya akan menimbulkan efek jera, tapi itu (efek jera) kan tidak terjadi," kata dia.