Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa istri terpidana kasus korupsi E-KTP Andi Narogong, Inayah, sebagai saksi untuk tersangka Paulus Tanos, Selasa (27/8/2019).
Paulus Tanos diketahui menjadi tersangka baru dalam kasus pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional (KTP Elektronik).
"Hari ini penyidik memeriksa seorang saksi atas nama Inayah yakni Direktur Utama PT. Selaras Korin Pratama untuk tersangka PLS (Paulus Tanos) dalam kasus Pengadaan Paket Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional (KTP Elektronik)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK.
Febri Diansyah mengatakan Inayah diperiksa terkait peran Andi Narogong dalam proyek E-KTP.
Baca: Pembacok Anggota Polsek Tlogowungu Diketahui Pernah Bekerja di Malaysia Selama 7 Tahun
Baca: Jelang Lawan Indonesia, Ada Ancaman Timpang dari Timnas Malaysia
Baca: Ansu Fati Bocah Barcelona yang Hampir Jadi Milik Rival Abadi Klubnya
"Saksi merupakan istri dari Andi Naragong dan diperiksa terkait peran Andi Naragong dalam proyek E-KTP," kata Febri.
Inayah yang mengenakan pakaian berwarna biru tersebut tampak hanya menunduk dan tersenyum ketika keluar dari Gedung KPK, Selasa (27/8/2019) pukul 14.14 WIB.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Inayah langsung bergegas menuju ke mobil kemudian pergi meninggalkan Gedung KPK.
4 tersangka baru
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan empat tersangka baru dalam perkara korupsi proyek pengadaan paket KTP Elektronik atau e-KTP.
Keempat tersangka itu antara lain, Anggota DPR 2014-2019 Miryam S Hariyani, mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI dan Ketua Konsorsium PNRI Isnu Edhi Wijaya, Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik dan PNS BPPT Husni Fahmi, serta Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang merinci peran-peran dari empat tersangka baru dalam kasus rasuah yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun itu.
Baca: Diam-diam Ternyata Yamaha Dekati Jorge Lorenzo, Pramac Racing Dapat Saingan Nih!
Baca: Selain Gantungan Kunci, 4 Suvenir Khas Selandia Baru yang Cocok Jadi Oleh-oleh
Baca: Lirik Lagu dan Chord Gitar Hari Merdeka (17 Agustus), Indonesia Raya, Indonesia Pusaka dan Syukur
Pertama terkait peran Miryam, pada Mei 2011, setelah RDP antara Komisi II DPR dan Kemendagri dilakukan, ia meminta USD100 ribu kepada Mantan Direktur Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman untuk membiayai kunjungan kerja Komisi II ke beberapa daerah.
Permintaan itu, kata Saut, disanggupi.
Transaksi pun dilakukan di sebuah SPBU di Pancoran, Jakarta Selatan melalui perwakilan Miryam.
"Tersangka MSH (Miryam S Hariyani) juga meminta uang denga kode 'uang jajan' kepada Irman sebagai Dirjen Dukcapil yang menangani e-KTP. Permintaan uang tersebut ia atasnamakan rekan-rekannya di Komisi II yang akan reses," ujar Saut di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Baca: Salat Idul Adha di Singapura, Segini Jumlah Hewan Kurban Syahrini dan Reino Barack
Baca: 13 Subsatgas Antimafia Bola Akan Bertemu Matangkan Konsep Pelaksanaan Tugas
Saut menyebutkan dalam kurun 2011-2012, Miryam diduga juga menerima uang beberapa kali dari Irman dan Direktur Pengelolaan Informasi Administras Kependudukan Kemendagri Sugiharto.
"Sebagaimana telah muncul di fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam perkara dengan terdakwa Setya Novanto, MSH diduga diperkaya USD1,2 juta terkait proyek e-KTP," sebutnya.
Terkait peran Isnu Edhi Wijaya, Saut mengatakan, awalnya pada Februari 2011, setelah ada kepastian dibentuknya beberapa konsorsium untuk mengikuti lelang e-KTP, pengusaha Andi Agustinus dan Isnu menemui Irman dan Sugiharto agar salah satu dari konsorsium dapat memenangkan proyek e-KTP.
Atas permintaan tersebut, Irman menyetujui dan meminta komitmen pemberian uang kepada anggota DPR.
"Kemudian tersangka ISE (Isnu Edhi Wijaya), tersangka Paulus Tannos, dan perwakilan vendor-vendor lainnya membentuk Konsorsium PNRI," kata Saut.
Akhirnya pemimpin konsorsium disepakati berasal dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PNRI.
Hal itu bertujuan agar konsorsium ini mudah diatur karena dipersiapkan sebagai konsorsium yang akan memenangkan lelang pekerjaan penerapan e-KTP.
Pada pertemuan selanjutnya, mantan Dirut PT Quadra Solution Anang Sugiana menyampaikan bahwa perusahaannya bersedia untuk bergabung di Konsorsium PNRI.
Andi Agustinus, Paulus Tannos, dan Isnu Edhi menyampaikan jika ingin bergabung dengan Konsorsium PNRI maka ada komitmen fee untuk pihak di DPR, Kemendagri, dan pihak lain.
Saut mengatakan, Isnu Edhi juga sempat menemui Ketua Tim Teknis BPPT Husni Fahmi untuk konsultasi masalah teknologi, dikarenakan BPPT sebelumnya melakukan uji petik e-KTP pada 2009.
Isnu Edhi bersama konsorsium PNRI mengajukan penawaran paket pengerjaan dengan nilai kurang lebih Rp5,8 triliun.
Pada 30 Juni 2011, konsorsium PNRI dimenangkan sebagai pelaksana pekerjaan penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) secara nasional (KTP Elektronik) tahun anggaran 2011-2012.
"Sebagaimana telah muncul di fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam perkara dengan terdakwa Setya Novanto, Manajemen bersama Konsorsium PNRI diperkaya Rp137,98 miliar dan Perum PNRI diperkaya Rp107,71 miliar terkait proyek EKTP ini," kata Saut.
Terkait peran Husni Fahmi, Saut memaparkan sebelum proyek e-KTP dimulai pada 2011, tersangka Husni diduga telah melakukan beberapa pertemuan dengan pihak-pihak vendor.
Padahal, ujar Saut, Husni dalam hal ini adalah Ketua Tim Teknis dan juga panitia lelang.
"HSF (Husni Fahmi) ikut dalam pertemuan di Hotel Sultan bersama Irman, Sugiharto, Andi Agustinus. Dalam pertemuan tersebut diduga terjadi pembahasan tentang proyek e-KTP yang anggaran dan tempatnya akan disediakan oleh Andi Agustinus," ucap Saut.
Dalam pertemuan tersebut, kata Saut, Husni diduga ikut mengubah spesifikasi, Rencana Anggaran Biaya, dengan tujuan peningkatan harga (mark up) anggaran.
Setelah itu, Husni Fahmi sering melapor terhadap Sugiharto.
Husni, dalam kasus ini diberi tugas untuk berhubungan dengan vendor dalam hal teknis proyek e-KTP.
Ia juga pernah diminta Irman untuk mengawal konsorsium, yakni PNRI, Astragraphia, dan Murakabi Sejahtera.
Husni ditugaskan untuk membenahi administrasi supaya konsorsium itu dipastikan lolos dan ditunjuk menggarap proyek e-KTP.
Husni Fahmi juga diduga tetap meluluskan tiga konsorsium, meskipun ketiganya tidak tidak memenuhi syarat wajib, yakni mengintegrasikan Hardware Security Modul (HSM) dan Key Management System (KMS).
"Sebagaimana telah muncul di fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam perkara dengan terdakwa Setya Novanto, tersangka HFS diduga diperkaya USD20 ribu dan Rp10 juta," kata Saut.
Terkahir, peran tersangka Paulus Tannos bermula sebelum proyek e-KTP dimulai pada 2011.
Paulus Tannos diduga telah melakukan beberapa pertemuan dengan pihak-pihak vendor termasuk dan tersangka Husni dan Isnu Edhi di sebuah ruko di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan.
Padahal Husni dalam hal ini adalah Ketua Tim Teknis dan juga panitia lelang.
Pertemuan-pertemuan tersebut, kata Saut, berlangsung selama kurang-lebih 10 bulan.
Dari pertemuan itu dihasilkan sejumlah output, di antaranya Standard Operating Procedure (SOP) pelaksanaan kerja, struktur organisasi pelaksana kerja, dan spesifikasi teknis yang kemudian dijadikan dasar untuk penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
Penyusunan HPS ini pada 11 Februari 2011 ditetapkan oleh Sugiharto selaku PPK Kemendagri.
Paulus Tannos juga diduga melakukan pertemuan dengan Andi Narogong, Almarhum Johannes Marliem, dan Isnu Edhi untuk membahas pemenangan konsorsium PNRI dan menyepakati fee sebesar 5 persen.
Pada pertemuan itu juga sekaligus soal skema pembagian beban fee yang akan diberikan kepada beberapa anggota DPR dan pejabat Kementerian Dalam Negeri.
"Sebagaimana telah muncul di fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam perkara dengan terdakwa Setya Novanto PT. Sandipala Arthaputra diduga diperkaya Rp145,85 miliar terkait proyek e-KTP ini," kata Saut.
Keempatnya disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sebelumnya, KPK telah lebih dulu menetapkan delapan orang sebagai tersangka kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP.
Delapan orang tersebut yakni, Irman, Sugiharto, Anang Sugiana Sudihardjo, Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, Andi Narogong, Made Oka Masagung, dan Markus Nari.