Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI f-KS Nasir Djamil menyoroti situasi Papua yang kembali memanas.
Ia mengatakan, pemerintah telah gagal menangani permasalahan yang ada di Indonesia bagian Timur.
Apalagi, kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini menimbulkan korban jiwa dari aparat TNI.
"Bisa kita sayangkan memang dalam beberapa kerusuhan terjadi di Indonesia bagian timur bahkan menewaskan aparat TNI ini sebuah tamparan bagi kita terkait dengan seolah-olah kita tidak mampu mengelola Indonesia Timur," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (29/8/2019).
Menurutnya, konflik yang tengah terjadi di bumi Cendrawasih tidak boleh dianggap enteng oleh pemerintah.
Sebab, isu Papua sangat rentan dimanfaatkan untuk dibawa ke dunia internasional.
"Tentu saja situasi itu akan dimanfaatkan oleh orang-orang di luar Indonesia untuk memecah belah bangsa Indonesia, apalagi mereka berusaha untuk memanas-manasi agar Papua keluar dari wilayah NKRI," pungkasnya.
Sebelumnya, Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengkonfirmasi adanya enam anggota aparat keamanan yang menjadi korban kontak senjata di wilayah Deiyai, Papua, Rabu (28/8/2019).
Dedi menyebut 1 anggota TNI Angkatan Darat gugur dalam kontak senjata tersebut. Sementara lima anggota Polri terluka akibat panah.
"Satu anggota TNI AD gugur, ada tambahan 5 anggota Polri terluka (akibat) panah," ujar Dedi, di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Rabu (28/8/2019).
Ia menjelaskan, awal mula kontak senjata terjadi akibat unjuk rasa yang dilakukan 150 orang untuk meminta bupati setempat menandatangani persetujuan referendum.
Saat itulah, tiba-tiba massa berjumlah ribuan datang dengan membawa senjata tajam dan menyerang aparat keamanan.
Sementara itu, terkait adanya korban dari masyarakat sipil, mantan Wakapolda Kalimantan Tengah itu mengaku berita tersebut belum dapat dikonfirmasi kebenarannya.
"Jadi informasi tersebut masih terus akan dicek oleh Polda Papua," ungkapnya.
Pemerintahan Tetap Jalan
Sementara itu Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan, sistem pemerintahan dan pelayanan publik di Papua dan Papua Barat tetap berjalan meski saat ini terjadi rusuh di sejumlah kota di wilayah ini.
“Jalan terus. Tidak ada masalah. Pelayanan masyarakat semua jalan terus,” ujar Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, usai menghadiri Rapat RUU Pertanahan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (29/8/2019).
Tjahjo mengatakan, Kementerian Dalam Negeri melalui Ditjen Otonomi Daerah tetap melakukan monitoring pergerakan isu mengenai Papua dan Papua Barat.
“Oh iya jelas, Gubernur, Bupati, Walikota, juga Tim dari Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri terus memonitor Pemda setempat, yang penting jalan terus (sistem Pemerintahan dan pelayanan publik-red)," kata dia.
Dia mengaku menghormati setiap aspirasi yang disampaikan masyarakat dengan catatan tidak anarkis dan bersifat provokatif.
"Soal aspirasi, asal tidak anarkis, asal tidak terus mengibarkan bendera dan sebagainya, sah-sah saja, di Kemendagri juga ada yang menyampaikan aspirasi kita dengar, asal tidak menyimpang dari pokok persoalan,” kata Tjahjo.
Wiranto: Tuntutan Referendum Tak Relevan
Terpisah, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto menilai tuntutan referendum dalam aksi unjuk rasa yang berujung kerusuhan di Kabupaten Deiyai, Papua sudah tak relevan.
Karena menurutnya, mengacu pada Perjanjian New York tahun 1962 menyebut Papua bagian barat adalah bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
“Saya kira tuntutan referendum sudah tidak pada tempatnya dan seharusnya tidak disampaikan. Karena apa, karena NKRI sudah harga mati. Perjanjian New York tahun 1962 lalu mengisyaratkan Papua bagian barat masuk NKRI, sehingga NKRI harga mati termasuk Papua dan Papua Barat,” ungkap Wiranto saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (29/8/2019).
Wiranto menambahkan bahwa konsep referendum adalah dalam konteks meminta rakyat menyatakan pilihannya apakah merdeka atau lepas dari negara penjajahnya.
Sehingga menurutnya referendum tak tepat jika dituntut oleh masyarakat Papua karena Papua merupakan wilayah sah Indonesia sebagai bekas jajahan Belanda sesuai Perjanjian New York tersebut.
“Papua dan Papua Barat ini kan wilayah sah Indonesia, jadi referendum tak perlu dikemukakan lagi,” tegasnya.
Wiranto mengatakan pemerintah membuka ruang komunikasi dan persuasif untuk mendengarkan aspirasi masyarakat Papua.
“Saya sudah melakukan langkah persuasif, berbincang dengan tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh pemuda. Sebenarnya apa yang menjadi tuntutan dalam aksi unjuk rasa itu sudah terjawab,” imbuhnya.
Wiranto sendiri menyesalkan kerusuhan yang sampai merenggut korban jiwa tersebut, yaitu satu aparat TNI meninggal dunia, dua personil TNI dan empat polisi mengalami luka, serta satu masyarakat menjadi korban meninggal dunia.
Ia mengimbau jangan sampai aksi unjuk rasa tersebut ditunggangi oleh pihak-pihak yang sengaja ingin membuat kerusuhan.
“Apalagi indikasi tersebut ditunjukkan dengan aksi unjuk rasa yang sudah merusak. Jangan sampai aksi unjuk rasa dimanfaatkan pihak-pihak yang ingin menyerang aparat keamanan, saya yakin orang yang menyerang aparat bukan orang-orang yang murni memiliki niat melaksanakan demo,” kata Wiranto.