TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sosok Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur, tak bisa lepas dari diskusi mengenai rumitnya permasalahan di Papua yang muncul belakangan ini.
Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang dekat dengan masyarakat Papua.
Dan sebagai presiden, ia dianggap sangat memahami akar persoalan di Papua.
Lantas, bagaimana Gus Dur memandang persoalan di Papua?
Putri pertama Gus Dur, Alissa Wahid menuturkan, persoalan mendasar bagi orang Papua hingga saat ini adalah cara pandang yang cenderung diskriminatif.
Tidak dipungkiri warga Papua diasosiasikan dengan ketertinggalan dan separatisme.
Baca: Saran Rizal Ramli Atasi Kemelut di Papua: Tiru Cara Gus Dur
Hal itu menyebabkan pendekatan yang dilakukan pemerintahan tidak berpijak pada kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan.
Misalnya, dengan mengutamakan pendekatan keamanan dalam merespons segala permasalahan di Papua.
Saat menjadi presiden, kata Alissa, Gus Dur mengubah cara pandang pemerintah yang dinilai kurang tepat.
"Gus Dur itu meyakini kemanusiaan dan meyakini juga kalau orang Papua itu sama luhurnya dengan kita dalam hal kearifan. Yang salah itu (cara pandang) Jakarta (pemerintah), kalau Gus Dur," ujar Alissa saat dihubungi, Rabu (4/9/2019).
"Buat Gus Dur itu yang salah adalah Jakarta, bagaimana Jakarta memandang Papua. Bukan Papua yang salah," ucapnya.
Menurut Alissa, Gus Dur tidak terjebak dalam cara pandang bahwa Papua identik dengan gerakan separatis.
Kemudian, Gus Dur mengubah cara pandang itu dengan mengedepankan pendekatan kemanusiaan dan kultural.
Gus Dur mengabulkan perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua.
Bahkan ia memberikan keleluasaan bagi warga Papua untuk mengekspresikan identitas kebudayaannya, misalnya pengibaran bendera Bintang Kejora.
Pada akhir 2001, muncul Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua).
Dalam Pasal 2 UU Otsus Papua tertulis bahwa Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.
Gus Dur juga mengizinkan masyarakat Papua menggelar kongres Rakyat Papua II dan memberikan bantuan dana.
Baca: Disebut Dicintai Orang Papua, Gus Dur Lakukan 3 Hal untuk Papua: Sumbang Rp 1 M hingga Ubah Nama
Bagi warga Papua, kongres itu merupakan ruang demokrasi untuk mengaktualisasikan identitas diri mereka.
"Ketika Beliau memiliki otoritas sebagai presiden, Beliau kemudian membalik cara pandangnya. Cara pandang Jakarta yang mengganggap Papua itu dalam tanda kutip anak nakal yang tertinggal," kata Alissa.
"Gus Dur mengingatkan kita semua bahwa Papua itu martabatnya sama. Itu yang harus berubah, bagaimana melihat Papua," tutur dia.
(Kompas.com/Kristian Erdianto)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul ""Menurut Gus Dur yang Salah Itu Jakarta, Bukan Orang Papua..."")